Retrospeksi 2019: Tahun yang Menegangkan Bagi Indonesia
Joy Roesma dan Nadia Mulya merunut lagi apa yang terjadi di 2019. Dengan semua yang telah dilalui negeri tercinta ini, pertanyaan yang timbul adalah: bagaimana tahun yang akan datang?
21 Dec 2019




It’s that time again. Tiba di penghujung tahun dan berkata, “waktu cepat banget berlalu.” Dalam sekejap kita berada di 2020. Dengan semua yang telah dilalui negeri tercinta ini, membuat para anak bangsa bertanya, bagaimana tahun yang akan datang?
 
Kegamangan sejenis melanda dua dekade yang lalu saat bersiap memasuki Y2K. Ingatkah pada waktu itu semua seakan bersiap untuk Armageddon karena khawatir komputer tidak mampu memproses sistem penanggalan dengan tahun diawali angka 2? Semua menahan nafas saat pergantian tahun pertama dilalui negara kepulauan Tonga, Samoa, and Kiribati. Tidak ada apa-apa. New Zealand dan Australia sebagai negara selanjutnya juga baik-baik saja.
 
Pengalaman tersebut mungkin bisa menjadi penawar terhadap fear of the unknown untuk 2020. Takut akan sesuatu yang tidak pasti atau tidak diketahui adalah respons alami manusia, terlebih bila pengalaman pada tahun sebelumnya cukup membuat trauma.
 
Sulit untuk kilas balik setahun ke belakang jika tidak membahas politik—walau kami bukan tipe yang senang diskusi politik secara terbuka karena rasa-rasanya setiap bahas perihal itu end up-nya ngotot-ngototan, berantem, bermusuhan… perpecahan.
 
Setelah banyak yang terpecah pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, 19 April 2017, satu bangsa tegang menyambut Pemilu dan Pemilihan Presiden, 17 April 2019. Setelah selesai dan pemenang sudah ditentukan, banyak yang bernafas lega berharap urusan sudah beres dan bisa lanjut menjalani hidup dengan tenang. Nyatanya tidak. Drama babak demi babak terus bergulir
 
Isu dan hoax yang sarat unsur SARA deras mengalir di jejaring media sosial. Banyak yang sibuk membuat analisa dan teori konspirasi, sementara yang lain membagikannya. Bahkan berhembus kabar bahwa kerusuhan tahun 1998 mungkin terulang.
 
Demonstrasi pun dilancarkan. Berjuta pasang mata memelototi layar televisi dan ponsel saat aksi orasi bereskalasi cepat menjadi anarki. Entah siapa yang menunggangi, karena terkuak di media massa bahwa terselip di antara mahasiswa adalah demonstran bayaran. Siapa yang membayar? Lagi-lagi aneka teori konspirasi bertebaran. Tapi kami sudah muak. Tidak perlu diingatkan berapa nyawa yang melayang, berapa sarana umum maupun pribadi yang dirusak, betapa mengganggu keamanan, kenyamanan, dan keseharian warga.
 
Jakarta Fashion Week—perhelatan fashion paling dinanti yang menyamakan Jakarta dengan kota-kota pusat fashion dunia lainnya—yang seyogyanya dijadwalkan akan berlangsung 19 -25 Oktober pun diundur 2 hari karena khawatir kemungkinan aksi demo selanjutnya akan lagi-lagi menyisakan teror. Pihak mall, desainer, buyer, model sampai tamu undangan pun dibuat kalang kabut, karena keputusan ini baru dibuat dua minggu sebelum hari-H. Demikian dengan Follow Gyeonggi K Culture Festa 2019, sebuah festival budaya Korea yang menghadirkan puluhan artis K-Pop juga terpaksa dibatalkan. Begitu juga dengan pertunjukan Jakarta Rock Space dan Youtube Fan Fest yang terpaksa ditunda. Kerugian baik materi maupun waktu tentu tak terhitung banyaknya.
 
Banyak yang membandingkan dengan demo di Hongkong yang walau juga menyedot perhatian dunia, dilaksanakan dengan tertib dan seminimal mungkin mengganggu aktivitas warga.
 
Hingga akhirnya tiba momen pelantikan Presiden, Wakil Presiden, dan Kabinet Indonesia Maju di penghujung Oktober 2019 menandakan bahwa sebuah babak sudah usai dan Indonesia siap maju ke masa depan baru yang bersatu dan menjanjikan.
 
Setidaknya, hikmah dari hardship yang dilalui memaksa bangsa ini untuk membuka mata, mengambil sikap, dan berpikir lebih jauh. Begitu banyak contoh dari mereka yang terlanjur terhasut, tidak bisa menahan emosi, dan memaksakan pandangannya yang toxic. Kita sudah capai dengan provokasi. Kita ingin suasana yang kondusif agar bisa berkarya agar Indonesia bisa maju, bersatu, dan sejahtera.
 
Indonesia is destined for greatness. Banyak yang sudah meramalnya. Siapapun bisa membuat prediksi, tapi yang menentukan adalah pilihan yang kita buat hari ini. Mengutip kalimat dari film Terminator Dark Fate, “There is no fate but what we make for ourselves.” (Joy Roesma & Nadia Mulya) Foto: Tom Fisk from Pexels

 

 

Author

DEWI INDONESIA