Petualangan Sunyi Penari Eko Supriyanto Membawa Tari Indonesia ke Kancah Global
Tari mengantar penari Eko Supriyanto pada berbagai pencapaian. Tak hanya sebagai koreografer, tapi juga pembagi inspirasi.
14 Jun 2016




Dari berlatih silat dan tari Jawa pada kakeknya, Djojoprajitno di Magelang,  Eko Supriyanto melanglang dunia. Tentu saja sebagai penari dan koreografer, profesi yang ia tekuni selepas kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia yang kini menjadi Institut Seni Indonesia di Solo. Konsistensi Eko menghampiri berbagai kesempatan yang terbuka, mengukuhkan eksistensinya di ranah tari Indonesia. Kemunculannya yang kedua dalam Indonesian Dance Festival (IDF) mulai mengantarnya ke kancah tari dunia, tampil di berbagai festival bergengsi di berbagai negara, tampil di broadway, dan menjadi penari dan koreografer Madonna. Ia juga menyambung pendidikan formalnya di Department World Arts and Culture di UCLA, California. Kembali ke Indonesia, kariernya sebagai penari dan koreografer makin bersinar.

Eko kemudian memutuskan membuat pergelaran dengan format drama musikal yang paling mudah diterima oleh masyarakat awam. Pergelaran Sasadu on The Sea terbentuk, dari jatah yang awalnya hanya 250 penari, hingga total 450 penari lokal yang ikut dan berlatih selama tiga bulan. Setelah Sasadu on The Sea untuk FTJ selesai, Cry Jailolo terlahir. Tujuh penari yang terpilih dari proses seleksi pemuda-pemuda asli Jailolo, menjadi karya pertama yang ia gubah dengan menggunakan metode silent tourism. Silent tourism yang dimaksud Eko sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis pariwisata seperti yang lazim kita kenal. Istilah itu digunakan Eko untuk menyebut bentuk proses membuat karya kecil dengan tim kecil, dan membawanya berkeliling dunia. Cry Jailolo bukan satu-satunya karya yang dibuat Eko. Tapi itu menjadi penanda sebuah babak baru dalam perjalanannya sebagai koreografer.

Langkah Eko masih akan panjang dan ia ingin membuat banyak hal bagi dunia tari. “Cry Jailolo menjadi contoh untuk membuat metode dan langkah-langkah kerja kreatif dengan konsep silent tourism tersebut.  Saat ini saya sedang kembali membuat karya berjudul Bala-bala yang melibatkan lima penari putri asli Jailolo,” kata Eko. Ia tahu akan banyak tantangan dan butuh waktu yang lama untuk bisa mengeksplorasi kekayaan budaya dan tradisi berbagai daerah Indonesia, dan menggubahnya jadi komposisi tari yang tak hanya eksostis bagi pemirsa tari dunia, tapi juga bisa menjadi penyampai pesan tentang kearifan lokal. Tapi Eko berjanji tak akan berhenti. Petualangan sunyi itu akan terus ia jalani. (ISA) Foto: Dok. Eko Budhi Susanto

 

Author

DEWI INDONESIA