Komunitas Pemberani adalah Dite, Merli, Fawas, Saidi, Gilang dan Rosi yang memiliki kepercayaan berbeda.Bagi mereka, siapa pun akan terlihat sama di mata orang lain, terutama di hadapan Tuhan. Pemikiran seperti itulah yang berusaha ditanamkan pada masyarakat. “Kami ingin mengedukasi soal indahnya keberagaman, karena kebetulan kami juga dari adat, budaya, dan kepercayaan yang berbeda,” kata Dite,ketua komunitas Pemberani.
Beberapa waktu lalu, bekerja sama dengan Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta (FMKI KAJ) dan Berbeda Itu Biasa, komunitas ini ikut merayakan Hari Toleransi Internasional dengan menggelar kegiatan Tourlerance of Worship Place. Mereka mengunjungi beberapa tempat ibadah seperti Klenteng Kong Miao, Pura Aditya Jaya,Vihara Ekayana Arama, Masjid Al-Hidayah, dan Masjid Istiqlal. Sayangnya karena keterbatasan waktu mereka tidak sempat menginjakkan kaki di Gereja Katedral.
Kegiatan ini dibuat fun dengan konsep piknik namun tetap edukatif. Selama berkunjung ketempat-tempat ibadah, para peserta dipersilahkan untuk bercakap-cakap dengan pemuka agama setempat, serta memahami bagaimana cara masing-masing agama berdoa. Dari situ, timbul interaksi dan komunikasi nyata di antara mereka. Bukan kebencian dan permusuhan seperti yang sering terpampang disosial media, tapi persatuan. Ironisnya, justru banyak masyarakat lebih percaya pada apa yang ditampilkan disana daripada didunia nyata.
Di mata Dite, intoleransi menjadi ancaman saat ini, apalagi jika melihat dari konteks global dimana rasisme dan islamism melanda di berbagai negara dan telah menjadi fenomena global. Media sosial memainkan peran cukup signifikan dalam pembentukan sikap intoleran. Ditambah lagi secara faktual kehidupan bergotong-rotong serta nilai-nilai hidup harmonis dikota besar semakin langka karena individualisme meningkat. Alangkah indahnya jika segala perbedaan di negeri ini bisa bersatu, sebagaimana gema semboyan bangsaIndonesia, Bhineka Tunggal Ika.
(WHY) Foto: Dok. Pemberani
Beberapa waktu lalu, bekerja sama dengan Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta (FMKI KAJ) dan Berbeda Itu Biasa, komunitas ini ikut merayakan Hari Toleransi Internasional dengan menggelar kegiatan Tourlerance of Worship Place. Mereka mengunjungi beberapa tempat ibadah seperti Klenteng Kong Miao, Pura Aditya Jaya,Vihara Ekayana Arama, Masjid Al-Hidayah, dan Masjid Istiqlal. Sayangnya karena keterbatasan waktu mereka tidak sempat menginjakkan kaki di Gereja Katedral.
Kegiatan ini dibuat fun dengan konsep piknik namun tetap edukatif. Selama berkunjung ketempat-tempat ibadah, para peserta dipersilahkan untuk bercakap-cakap dengan pemuka agama setempat, serta memahami bagaimana cara masing-masing agama berdoa. Dari situ, timbul interaksi dan komunikasi nyata di antara mereka. Bukan kebencian dan permusuhan seperti yang sering terpampang disosial media, tapi persatuan. Ironisnya, justru banyak masyarakat lebih percaya pada apa yang ditampilkan disana daripada didunia nyata.
Di mata Dite, intoleransi menjadi ancaman saat ini, apalagi jika melihat dari konteks global dimana rasisme dan islamism melanda di berbagai negara dan telah menjadi fenomena global. Media sosial memainkan peran cukup signifikan dalam pembentukan sikap intoleran. Ditambah lagi secara faktual kehidupan bergotong-rotong serta nilai-nilai hidup harmonis dikota besar semakin langka karena individualisme meningkat. Alangkah indahnya jika segala perbedaan di negeri ini bisa bersatu, sebagaimana gema semboyan bangsaIndonesia, Bhineka Tunggal Ika.
(WHY) Foto: Dok. Pemberani
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta