Pentingnya untuk mengapresiasi dan memberdayakan perajin lokal dan unit usaha kecil di daerah dirasa mendesak dalam bingkai yang lebih besar. “Sangat penting. Perajin memiliki motif, kreativitas, dan inovasi yang orisinal. Hanya perlu diasah dan diberi arahan,” terang Direktur Jakarta Fashion Week, Lenni Tedja. Mengenai manfaat langsung yang dirasakan oleh perajin, Lenni mengungkapkan jika kerjasama rutin dilakukan, perajin dimungkinkan memiliki pekerjaan tetap. “Kerjasama seperti pembuatan motif oleh desainer Indonesia Fashion Forward (IFF) dan pengerjaan tenun oleh perajin yang dilakukan di Garut dan Pekalongan, misalnya, jika dilakukan rutin tentu dapat melatih perajin untuk inovatif dalam motif dan teknik tenun agar tidak monoton.”
Usaha kerjasama dengan perajin dan unit usaha kecil di daerah tentu bukan tanpa hambatan. Jika Ari Seputra melihat kesulitan menerjemahkan motif dan warna baru sebagai kendala umum yang dihadapi, Toton Januar menggambarkan waktu dan kualitas sebagai kendala pokok yang kerap ia temukan. “Untuk TOTON yang membuat koleksi siap pakai, tentu masalah utama yang kami hadapi adalah kapasitas produksi (terkait waktu dan kuantitas) dan juga masalah konsistensi serta kualitas. Dalam hal ini dibutuhkan proses pembelajaran dari kedua belah pihak, juga komunikasi yang baik dan berkesinambungan,” ungkap Toton. Hal hampir serupa pula menjadi tantangan bagi Deden Siswanto dan Felicia Budi. “Masalah waktu dan kedisiplinan serta komitmen dari pada masing-masing perajin serta kepada adat, kebiasaan hidup mereka sehari-hari,” terang Deden.
Kendala di manajemen waktu tersebut biasanya diakali Felicia Budi lewat desain produk. “Kami kemudian saling terbuka dengan sistem manajemen masing-masing dan mencari solusi bersama. Sebagai brand siap pakai, saya pun mengakali hal ini melalui desain produk yang dibuat agar tidak terlalu bergantung dengan kain dari perajin. Misalnya dalam satu baju menggunakan kain dari perajin sebagian kecil saja, sehingga ketika kain datang bisa dibuat menjadi beberapa baju. Atau misalnya dalam satu koleksi, hanya 50% yang menggunakan kain perajin,” Felicia menjelaskan. Batasan waktu yang dialami pula oleh Toton diakali lewat membuat perencanaan produksi yang berbeda dengan membuat kain lebih awal dari biasanya. “Dengan demikian, waktu pemrosesan dan kualitas kain tidak dikorbankan. Yang juga berperan penting adalah seberapa besar kapasitas sumber daya si perajin tersebut. Ini terasa sekali ketika mengerjakan tenun dengan bahan wol dengan perajin dari Viera di Garut. Karena sumber daya mereka cukup memadai, kami dapat memproduksi dengan tenggat waktu yang cukup terbatas.”
Kendala tentu tak hanya berhenti pada pengetahuan, waktu terkait kuantitas, kualitas yang belum standar, serta sumber daya, melainkan juga jarak dan keterampilan teknologi. Kebanyakan, para perajin dan unit usaha kecil berbasis keluarga (Flores misalnya) tidak memiliki akses komunikasi modern macam telepon genggam atau internet. Ini merupakan sekelumit kecil kendala yang umum ditemukan ketika akan menjalin atau menjajaki proses kerjasama dengan para perajin lokal dan unit usaha kecil di daerah. (RW & JAR) Foto: Dok. Ari Seputra, dewi, fbudi, Indonesia Fashion Forward, Major Minor, TOTON, Tropenmuseum, Wikimedia Commons
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta