LAKON Indonesia baru saja memamerkan instalasi seni yang diberi nama “Lorong Waktu The Installation” di Dia.Lo.Gue Artspace pada 18-27 November lalu. Instalasi ini merupakan hasil kolaborasi founder LAKON Indonesia, Thresia Mareta, dengan Adi Purnomo yang biasa disapa dengan Mamo, seorang arsitek dan juga seniman, sekaligus pendiri dari studio arsitektur Mamo Studio.
LAKON Indonesia sendiri merupakan ekosistem yang dibangun sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya Indonesia. Instalasi ini hadir sebagai media untuk menyampaikan tujuan usaha pelestarian budaya yang dilakukannya.
Perjalanan LAKON Indonesia dengan Mamo dalam Usaha Pelestarian Budaya
Bukan kali pertama Thresia Mareta berkerja sama dengan Mamo. Kembali pada tahun 2012 ketika Thresia dan Mamo untuk pertama kalinya sama-sama tergabung dalam satu proyek TK Pahoa berkonsep hijau yang akhirnya membuahkan 7 penghargaan internasional. Proyek TK Pahoa ini berupaya untuk meningkatkan kenyamanan penggunanya semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya natural dan konsumsi energi yang sangat rendah. Selain itu, TK Pahoa juga dibangun untuk mendidik semua penggunanya termasuk semua tamu yang berkunjung kesana untuk melestarikan lingkungan dan menghormati etika kehidupan.
Manusia hidup dari alam dan memiliki pertalian yang sangat erat dengan alam, sehingga proyek pendirian TK Pahoa sangat memperhatikan semua fasilitas yang sudah disiapkan secara seksama. Proyek ini berusaha mengajarkan agar para siswa, guru, dan tamu pengunjung juga memiliki pengertian yang lebih dalam mengenai hidup dan menjadi generasi baru yang dapat memberikan kontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih baik demi kelangsungan makhluk hidup.
Kolaborasi keduanya kemudian berlanjut di bidang mode, pada pameran “Pakaiankoe: A Journey to Java” yang digelar di ASTHA, Jakarta pada November 2020 dan “Gantari: The Final Journey to Java” yang digelar di Candi Prambanan, Yogyakarta pada Oktober 2021. Kolaborasi Mamo dalam Pakaiankoe dan Gantari ini juga memiliki konsep interaksi manusia dengan alam. Pameran Pakaiankoe dibuat dengan setting hutan di tengah kota yang modern, sedangkan pameran instalasi Gantari yang kental dengan identitas Indonesia ini mengajak para penonton untuk menjadi bagian dari kebudayaan Prambanan.
Presentasi mode dalam medium berbeda
Kali ini, melalui pameran instalasi “Lorong Waktu: The Installation” yang diadakan di Dia.Lo.Gue, LAKON Indonesia dan Mamo Studio mencoba untuk mempresentasikan mode dengan medium yang berbeda dan pemirsa yang berbeda pula. Digelar di galeri seni dan ruang kreatif, pameran ini menyasar para pegiat seni dan pekerja kreatif. Bagi Thresia, agar pelestarian budaya dapat dilakukan oleh berbagai banyak kalangan, LAKON Indonesia juga harus bisa berbahasa dalam bahasa mereka; dan karena itu pula instalasi ini dikemas dengan konsep yang lebih kreatif pula.
Instalasi Lorong Waktu ini menceritakan sebuah perjalanan pelestarian budaya selama empat tahun LAKON berkarya. Sebanyak 40 koleksi yang ditampilkan mewakili perjalanan LAKON dari masa ke masa, yaitu koleksi tahun pertama dan kedua ketika LAKON Indonesia masih banyak bereksplorasi dan pencarian jati diri, tahun ketiga ketika LAKON Indonesia mulai banyak mendalami dan bertumbuh dewasa, dan tahun keempat ketika mereka sudah sepenuhnya menjadi dewasa.
Bekerja sama dengan Mamo, alih-alih melakukan pergelaran busana dengan model yang berjalan di runway, Mamo memilih untuk menampilkan instalasi busana dari LAKON Indonesia bagaikan makhluk dengan jiwa dan nyawa yang bisa bergerak. Mamo menggantung pakaian-pakaian yang ada sesuai dengan jenis, tekstur, dan sifat kain sedemikian rupa agar bisa membangkitkan suasana sekitarnya, bukan hanya sekedar pakaian. Alhasil, instalasi ini menampilkan pakaian yang digantung seolah-olah seperti ada orang yang memakainya, dengan gaya seperti sedang menari dan berlari.
Instalasi ini juga diharapkan menciptakan kemungkinan baru akan adanya sebuah selasar untuk publik dalam upaya pelestarian budaya yang dinamakan “Teras Lakon.” Teras Lakon adalah bangunan, yang bisa dijadikan sebagai tempat bertemunya para pelaku dalam berbagai bidang ilmu dan budaya untuk bersama-sama secara lebih mendalam memelihara eksistensi budaya yang ada untuk jangka waktu panjang.
“Akan ada workshop, ruang arsip, dan ruang-ruang lainnya yang bisa dijadikan inkubator bidang mode untuk mendorong pelaku bisnis fashion agar bisa masuk ke pasar global. Indonesia belum ada ruang presentasi untuk bidang fashion, jadi, jika ada buyer yang ingin melihat seperti apa sih industri dan perkembangan fashion di Indonesia, Teras Lakon bisa menjadi acuan untuk memperlihatkan seperti apa fashion di Indonesia.” ungkap Thresia.
Bukan hanya ingin memajukan industri fashion Indonesia, LAKON Indonesia juga bertujuan untuk berbagi ilmu, melestarikan budaya Indonesia, dan menjalani siklus fashion yang berkelanjutan. Untuk itu, Teras Lakon juga diharapkan bisa menjadi tempat berkumpulnya anak muda untuk melestarikan budaya. “Contohnya, anak muda sekarang menganggap memakai batik itu kesannya tua, kuno, dan ketinggalan zaman. Saya ingin kalau budaya Indonesia yang dianggap kuno ini diolah dan dibantu oleh banyak orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda agar bisa menjadi satu kesatuan dan tujuan untuk melestarikan budaya”, jelas Thresia.
CARRA NETHANIA
Editor: Mardyana Ulva
Foto: Dok. DEWI