Pada 2014 lalu, seniman rupa Indonesia F. X. Harsono menerima penghargaan Prince Claus Award dari Belanda. Nominasi itu diberikan pada Harsono atas pencapaiannya yang luar biasa dan inspirasional di bidang budaya dan pembangunan. Pameran berjudul The Life and The Chaos: Objects, Images and Words yang dibuka pada 1 Oktober dan akan berlangsung hingga 30 Oktober 2015 di Erasmus Huis ini mengetengahkan beberapa karya penting yang dibuat Harsono sepanjang kariernya di dunia seni rupa yang dimulai sejak pertengahan dekade 70-an. Melengkapi karya-karta tersebut, Hendro Wiyanto, kurator pameran ini juga menyuguhkan catatan kronologis yang cukup komprehesif tentang perjalanan berkesenian Harsono.
Hendro membagi catatan itu dalam lima babak yang dianggap penting dan bisa dianggap sebagai penanda dalam perjalanan karier Harsono seperti ketika ia terlibat dalam Gerakan Seni Rpa Baru sejak awal hingga akhir decade 1970an, lalu babak ketika ia menjadi seniman-aktivis sejak 1980 hingga 1998, juga era pasca reformasi pada 1999 hingga 2008 ketika ia memutuskan menelusuri identitas dirinya atau ketika pada 2009 hingga saat ini, ia tertarik mendedah sejarah peranakan Tionghoa yang sebagian ia temukan dalam foto-foto yang dibuat oleh ayahnya yang seorang fotografer.
Melalui karya-karya rupanya, baik instalasi mau pun performance art, FX Harsono melakukan apa yang disebut oleh curator pameran Hendro Wiyanto sebagai pencarian terhadap “yang sosial” yang selalu menjadi jiwa dalam karya-karyanya. Apa yang dimaksud Harsono sebagai “yang social” menurut Hendro tak lain adalah representasi dari kehidupan masyarakat kebanyakan yang bisa ditemukan di mana saja, baik di jalanan, di bengkel, bioskop, sampai tempat tidur.
Dalam setiap pamerannya, Harsono banyak mengambil symbol-simbol umum seperti senapan mesin, pistol, boneka, rantai baja, keris, gergaji mesin sampai jarum untuk menunjukan keganasan, banalitas kekuasaan dan khaos dalam kehidupan “yang sosial”. Ia juga memilih benda-benda seperti topeng, daun pintu, kursi, reranting kering, tali tambang yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Hendro menyebut pilihan Harsono ini sebagai testimony verbal yang dengan gambling bisa menunjukkan relasi yang niscaya antara seni dan wacana social yang dominan pada suatu masa tertentu. (ISA), Foto: ISA
Hendro membagi catatan itu dalam lima babak yang dianggap penting dan bisa dianggap sebagai penanda dalam perjalanan karier Harsono seperti ketika ia terlibat dalam Gerakan Seni Rpa Baru sejak awal hingga akhir decade 1970an, lalu babak ketika ia menjadi seniman-aktivis sejak 1980 hingga 1998, juga era pasca reformasi pada 1999 hingga 2008 ketika ia memutuskan menelusuri identitas dirinya atau ketika pada 2009 hingga saat ini, ia tertarik mendedah sejarah peranakan Tionghoa yang sebagian ia temukan dalam foto-foto yang dibuat oleh ayahnya yang seorang fotografer.
Melalui karya-karya rupanya, baik instalasi mau pun performance art, FX Harsono melakukan apa yang disebut oleh curator pameran Hendro Wiyanto sebagai pencarian terhadap “yang sosial” yang selalu menjadi jiwa dalam karya-karyanya. Apa yang dimaksud Harsono sebagai “yang social” menurut Hendro tak lain adalah representasi dari kehidupan masyarakat kebanyakan yang bisa ditemukan di mana saja, baik di jalanan, di bengkel, bioskop, sampai tempat tidur.
Dalam setiap pamerannya, Harsono banyak mengambil symbol-simbol umum seperti senapan mesin, pistol, boneka, rantai baja, keris, gergaji mesin sampai jarum untuk menunjukan keganasan, banalitas kekuasaan dan khaos dalam kehidupan “yang sosial”. Ia juga memilih benda-benda seperti topeng, daun pintu, kursi, reranting kering, tali tambang yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Hendro menyebut pilihan Harsono ini sebagai testimony verbal yang dengan gambling bisa menunjukkan relasi yang niscaya antara seni dan wacana social yang dominan pada suatu masa tertentu. (ISA), Foto: ISA
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta