Minimalisme, Konsumerisme, dan Kapitalisme
Konsumerisme dan kapitalisme adalah lawan paling berat di samping mengubah pola pikir. Dalam film dokumenter Minimalism: A Documentary About the Important Things karya Matt D'Avella, diperlihatkan bagaimana manusia menjadi senang mengonsumsi untuk mengisi kekosongan diri bukan kebutuhan. Konsumerisme membuat manusia mengejar benda untuk kepuasan belaka. Ekonom dan Sosiolog Juliet Schor, Ph.D. dalam film tersebut menyatakan kita terlalu materialistis dalam arti kata sehari-hari dan sama sekali tidak materialistis dalam arti sebenarnya. Kita perlu menjadi materialis sejati untuk benar-benar peduli dengan materialitas barang. Alih-alih, kita berada di dunia di mana material sangat penting makna simbolisnya. Kita berada dalam sistem berdasarkan pada apa yang dikatakan iklan atau marketing. Materialistis yang dimaksud adalah kepemilikan benda. Semestinya, saat memutuskan memiliki berarti kita benar-benar mengetahui nilai dan menghargai benda tersebut. Tetapi yang terjadi kini ialah perlombaan untuk memiliki sebanyak mungkin.
Tawaran minimalisme nampak cemerlang. Minimalisme bukan gerakan berhenti mengkonsumsi tapi cara untuk mengkonsumsi secara berbeda dan bertanggung jawab. Gagasan rupawan melawan konsumerisme dan kapitalisme ini bisa jadi berbalik. “Walaupun dapat dikatakan minimalisme sebuah tandingan untuk konsumerisme tapi bahaya komodifikasi gaya hidup ini tetap ada. Sehingga bukan tidak mungkin hanya menjadi tren sesaat,” ucap Daisy. Sebagian orang yang hanya mementingkan estetika dan ingin nampak bersahaja bisa mengisi rumah dengan benda berdesain minimalis berharga mahal. Lantas menyebut diri seorang minimalis. Padahal boleh jadi itu hanya persoalan selera. Seseorang tidak bisa dikatakan minimalis hanya dari memiliki benda berdesain minimalis. Kyle Chayka penulis buku The Longing for Less: Living with Minimalism juga merasakannya. Ia sering berpikir bahwa benda yang ia lihat bermerek minimalis itu mahal dan mewah. Baginya, minimalis seharusnya menjadi hal yang lebih merakyat. Ini bukan tentang harta Anda, ujarnya, tapi bagaimana Anda melihat dunia.
Ini memang hukum ekonomi yang sudah terjadi ribuan tahun lamanya. Ketika sesuatu menjadi tren dan permintaan pasar meningkat, maka produksi akan diperbanyak. Begitu juga persoalan ide minimalisme. Ia menjadi sebuah label bernilai jual dan punya kecenderungan dieksploitasi. Bukan tidak mungkin minimalisme malah menjadi kapitalisme itu sendiri. “Minimalis sebagai sebuah konsep telah sangat dikomodifikasi, seperti yang terlihat pada Marie Kondo yang menjual kristal dan garpu tala di situsnya. Minimalisme telah menjadi merek yang tidak memiliki banyak kesamaan dengan makna asli dari istilah tersebut,” kata Kyle Chayka, seperti dikutip dari Hazlitt.
Minimalisme tidak menghapus komsumerisme dan kapitalisme sepenuhnya sebab manusia tetap akan mengkonsumsi dan membeli. Meski begitu, masa depan minimalisme nampak cerah. Dilansir Forbes, minimalisme telah menginspirasi orang, terutama generasi milenial, untuk punya rumah kecil, isi lemari pakaian yang lebih sederhana, dan mendonasikan benda. Survey Harris Poll dan Eventbrite yang dikutip Bloomberg menyatakan 78 persen milenial suka menghabiskan uangnya untuk merasakan pengalaman daripada membeli barang. Membeli pengalaman dipercaya menimbulkan suasana hati positif yang tahan lama. Simplicity Institute merilis temuan dari total 2.500 orang di berbagai wilayan, 87 persen responden menunjukkan mereka lebih bahagia dalam keadaan cukup daripada ketika mereka memiliki lebih banyak harta.
Maka, menjadi minimalis adalah pilihan. Tergantung pada alasan dan tujuannya sendiri. “Menjadi minimalis tidak membuat kita merasa paling baik dan yang lain buruk. Semua kembali pada keputusan diri masing-masing. Kita tidak bisa memaksa. Orang yang memilih jadi minimalis punya perjalanannya sendiri. Mereka yang tidak karena memang tidak punya proses yang sama. Yang saya lakukan adalah berbagi info dan pengalaman, syukur jika tergerak melakukan hal serupa. Saya percaya kebiasaan baik pasti menular,” kata Chythia. Gaya hidup minimalis bukan hanya mengenai, kurang sama dengan lebih, kesederhanaan, kepemilikan benda, maupun pola pikir. Ia adalah gagasan menemukan esensi kebahagiaan hidup dengan sebaik-baiknya. (Wahyu Septiyani) Foto: Istimewa