Pagi hari itu di Komaneka at Keramas Beach Resort, para tamu undangan berkumpul di area galeri Komaneka Keramas untuk menghadiri pembukaan dan konferensi pers pameran Remembering Made Wianta. Hujan yang turun seolah memberi suasana yang lebih intim dan puitis.
Di tanggal 20 Desember 2020 tersebut, saat acara digelar, (alm) Made Wianta seharusnya merayakan ulang tahunnya yang ke-71. Kepergian salah satu maestro lukis Indonesia ini di awal bulan November meninggalkan sebuah lubang lubang besar dalam komunitas seni Bali serta Indonesia. Made Wianta adalah salah satu pelopor seni kontemporer di Tanah Air, serta merupakan sosok yang sering mengkritik kondisi sosial dan politik Indonesia lewat karyanya.
Made Wianta adalah salah satu dari sekian banyak seniman legendaris yang karyanya pernah dipamerkan di Galeri Seni Rupa Komaneka, Ubud. Ia selalu tampil dengan ide-ide segar dan inovatif, sesuai dengan filosofi Galeri Komaneka yang selalu berusaha menampilkan karya yang segar dan modern dari masa ke masa.
Alasan ini yang membuat Koman Wahyu Suteja, pengusaha dan pemilik Komaneka Resorts, bersemangat mengangkat Made Wianta untuk pameran teranyar di hotel dan galerinya. “Saya ingin melakukan sesuatu yang berbeda dengan ayah saya, termasuk dalam memilih seniman-seniman yang saya tampilkan,” jelasnya.
Ayahnya, Sutedja Neka, adalah pendiri Neka Art Gallery, galeri seni komersil pertama di Bali. Sepanjang perjalanannya, Neka Art Gallery menjadi patron bagi seniman-seniman baru di masanya—nama-nama yang kemudian dikenal sebagai perintis seni modern di Bali dan Indonesia, dan membantu melejitkan nama-nama seniman seperti Affandi dan Nyoman Gunarsa ke kancah seni rupa internasional.
“Biasanya saya lebih memilih mengangkat seniman-seniman muda yang modern dan kontemporer. Namun Made Wianta, bagi saya, adalah pengecualian. Gaya lukis beliau selalu berkembang, dan bisa diterima oleh berbagai kalangan usia. Beliau adalah sebuah inspirasi yang bisa melintas generasi—kalau dalam istilah lokal, mungkin bisa disebut ‘moksha’. Karya-karyanya masih terasa relevan hingga hari ini,” sambung Koman.
Ini adalah pertama kalinya karya-karya Made Wianta dipamerkan di Komaneka Gallery, meski karya-karya sang maestro dominan terlihat di jajaran koleksi Museum Neka, bersanding dengan karya Nyoman Gunarsa. Sejumlah 19 karya ditampilkan di Komaneka Gallery, Keramas, yang terdiri dari koleksi Museum Neka dan koleksi pribadi Koman, serta karya-karya baru Made Wianta.
“Saya mengkurasi pameran ini mewakili perjalanan karya Pak Wianta selama saya mengenal beliau. Karya-karya yang ada di sini mewakili beberapa periode karya beliau, mulai dari periode Karangasem hingga periode kaligrafi,” ucap Koman. Periode Karangasem sendiri, berupa sketsa hitam putih bergaya surealisme penuh simbolisme Bali, diakuinya merupakan periode favoritnya.
Sebagai kolektor dan patron yang menyelami dunia seni modern serta cara menikmatinya kini, ia pun memajang karya-karya Made Wianta yang penuh warna tepat di depan pintu masuk galeri. “Sesuai zaman, karya-karya penuh warna ini kan terlihat Instagramable,” jelasnya, yang disambut dengan suara tawa para undangan.
Di hari pembukaan, turut hadir Intan Wianta, istri Made Wianta, kedua anaknya, Buratwangi dan Sanjiwani, serta cucu dan menantunya. Usai pembukaan pameran, acara dilanjutkan dengan makan siang intim bersama teman-teman dekat serta kolektor-kolektor terbesar karya Made Wianta.
Sebuah tumpeng dan kue ulang tahun pun dikeluarkan di akhir acara untuk merayakan ulang tahun sang Maestro. Tidak ada suasana sedih maupun muram, hanya kegembiraan dan kebersamaan, sesuai dengan karakter Made Wianta yang dikenal oleh orang-orang terdekatnya sebagai pribadi yang selalu penuh semangat dan optimis. (Margaretha Untoro) Foto: Dok. Komaneka, MU