Pada gelaran peluncuran buku Etty Indriati berjudul ‘Tenun Sumba: Membentang Kain Kehidupan’, lontaran-lontaran diskusi pun bermunculan mengenai bagaimana kain Indonesia adalah sebuah pengantar kita untuk dapat memahami sebuah budaya.
Diskusi singkat soal kain yang diadakan di BINHouse Menteng sembari menyeruput teh lemon, menekankan pada sebuah poin penting dalam pemahaman terhadap gagasan ‘kain adalah teks dan budaya adalah konteks’.
Gagasan tersebut dilontarkan oleh seorang mantan jurnalis dan kolektor kain yang juga menjadi moderator saat diskusi, Irwan Julianto. “Kita sering hanya melihat teks-nya saja, konteks-nya kita seringkali melupakan,” tuturnya.
Irwan mengutip, untuk memahami istilah tersebut, turut mengadopsi teori semiotika perihal teks dan konteks. Teks sendiri didefinisikan membawa beragam pesan baik menggunakan tanda verbal maupun visual. Kain termasuk dalam pengertian teks, ia hadir sebagai produk yang memiliki makna dan nilai sosialnya sendiri.
Dalam pembahasan tenun Sumba Timur, baik tenun ikat maupun songket yang lazim disebut Pahikung—sejatinya penuh dengan simbol aneka satwa, manusia, hingga motif Patola. "Budaya tutur yang diwujudkan dalam seni visual. Dan sebagai teks, simbol-simbol tersebut harus dilihat dalam konteksnya yakni budaya masyarakat Sumba Timur," tambahnya.
Sedangkan, konteksnya yakni budaya diartikan sebagai situasi nonlinguistik—tempat terjadinya sebuah komunikasi itu terjadi. Menurutnya, banyak orang Indonesia yang mengetahui kain dan memakai kain, tetapi tidak memahami budayanya.
Akrab dengan sapaan Obin, Josephine Komara yang juga merupakan seorang desainer dan ikon budaya Indonesia, turut memberikan beberapa poin terkait kain dan berbudaya. “Kita tidak akan bisa memahami kain Indonesia, tanpa memahami budayanya terlebih dahulu,” buka Obin.
Baginya, budaya adalah the way we are—apa adanya kita dan modern adalah the way we think—bagaimana kita berpikir. “We know what we see, tapi banyak yang kita tidak lihat. Maka, meneliti budaya itu adalah hal yang terpenting. Memahami kain itu adalah bagian dari meneliti budaya. Itu identitas kita, jangan sampai lupa mengenai budaya,” ungkapnya.
Obin juga menceritakan bagaimana di luar negeri sudah ada gerakan go local. Dirinya ikut andil dalam membuat approval kalau mereka akan melakukan akuisisi tekstil-tekstil baru. Dari sana ia menyimpulkan, “Sudah waktunya kita, orang Indonesia, mencintai karya kita sendiri.” (FH/ Foto: Tim Kompas Gramedia)