Kami berbincang santai di dapur apartemen temannya pada sore hari, bulan Oktober 2015, di Frankfurt, Jerman. Udara musim gugur terasa sejuk, mengalir melalui celah jendela. Pameran restrospektifnya Violence No More dibuka seminggu lalu di Haus am Dom, di Katedral St. Bartholomew, bangunan abad ke-14 di pusat kota Frankfurt. Pameran ini meliputi lukisan, instalasi, foto, dan video pertunjukan selama 30 tahun ia berkarya. Nomad Arahmaiani satu dari sedikit seniman Indonesia yang dikenal di dunia internasional serta mendapat pujian. Iani, demikian ia biasa disapa, telah mengikuti belasan pameran bersama dan menyelenggarakan 10 pameran tunggal di berbagai negara.
Seni adalah panggilan jiwanya, sehingga ia memilih kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Ketika dosen memberi tugas melukis dengan cat minyak, ia justru melukis dengan arang. Alasannya, “Harga arang lebih murah dan memberi kesempatan bereksperimen.” Dosen marah. Ia tidak lulus mata kuliah tersebut. Iani lantas menggambar dan menulis puisi protes pada dinding koridor kampus. Lukisan-lukisan arangnya dipajang di sepanjang koridor. Pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia, ia mengkritik Orde Baru. Dibantu tiga teman, Iani menggambar tank baja dan menulis puisi di jalanan. Tentara menangkapnya. Proses interogasi berlangsung satu bulan. Iani memperoleh bebas bersyarat setelah dokter tentara menerangkan ia “menderita gangguan mental”. Demi keselamatan, seorang teman mengusulkan Iani pergi ke Australia. Orangtuanya setuju. (LC) Foto: Dok. Arahmaiani.