Ada cinta pada pandangan pertama, ada pula cinta yang mengakar dari perjalanan waktu. Bermula dari pekerjaan, cinta Mira Yudhawati bersemi terhadap kopi. Ia terbius pesona minuman yang abadi dalam pepatah Turki: sehitam neraka, sekuat kematian, semanis cinta. “Tiap kopi rasanya beda. Tapi di masa itu jarang sekali ada tempat untuk belajar kopi. Saya hanya bisa Googling,” ujarnya, seraya menyeruput secangkir Guatemala Huehuetenango, yang beraroma sedap dari perpaduan rasa buah, bunga dan selapis dark chocolate.
Pada 2007 Mira yang kini menjabat sebagai sales & marketing manager dari Javarabica atau Caswells Coffee, datang ke pameran kopi di Singapura, yang terbesar di Asia. Gairah para pengunjung. Pesona kopi. Ia terpukau. Setahun kemudian ia dan sejumlah teman mendirikan Specialty Coffee Association of Indonesia. Organisasi ini berinisiatif mengundang ilmuwan kopi dari negara lain untuk berbagi pengetahuan kepada para anggotanya. Cinta memang tak terbendung. Ia dan seorang teman berkorespondensi di internet dengan lelaki Italia yang hendak pergi ke Kuala Lumpur demi kopi. Mereka berdua sengaja menemui orang asing ini, yang bersedia mengajarkan tentang barista (cara membuat dan menyajikan kopi) dan basic cupping (teknik menghirup aroma serta menyeruput kopi).
Ia lantas ikut kelas cupping, yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America (SCAA) hingga menjadi pencicip kopi profesional atau Q Grader, yang terhitung langka di Indonesia tapi penting dan prestisius di industri kopi. “Pembeli tidak perlu lagi dikirimi sample, yang penilaiannya dengan penjual nanti bisa saja berbeda. Pembeli tinggal bilang ke penjual, ‘Saya mau beli kopi kamu, yang sudah disertifikasikan oleh Q’. Kopi dikirim ke minimal dua orang Q dan sebaiknya, tiga, yang menilai berdasarkan bahasa yang sudah dipelajari, sejak kopi digiling sampai diseduh, mulai dari aroma hingga rasa,” kata Mira, menjelaskan tugas seorang Q. Berdasarkan nilai cupping, kopi terbagi tiga kategori, yakni specialty (> 80) benar-benar biji kopi bermutu tinggi, premium (75-79), dan terakhir, commercial.
Kopi tiada mengenal istilah ‘kadaluarsa’, tapi kopi yang telah sirna aromanya bukan lagi minuman lezat. Kopi terbaik memiliki harmoni pada rasa. “Pertama kali yang kita cari justru manisnya. Pahitnya tidak boleh mendominasi,” tutur Mira Yudhawati. Kopi sebagaimana manusia, juga memiliki karakter, sekitar 800-an. Katanya, “Kemampuan mengenali karakter itu berasal dari latihan dan ingatan.” Karena itu sertifikat Q Grader tidak berlaku seumur hidup. Setelah tiga tahun, para Q harus diuji lagi. Semakin sering bersentuhan dengan kopi, makin kaya pengetahuan seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut tertanam dalam memori, lalu bangkit saat seberkas aroma hadir menyentuh saraf penciuman. Ia memberi contoh, “Orang yang sehari-hari me-roasting kopi Toraja misalnya langsung mengenali kopi itu begitu mencium aromanya, meski dia bukan Q.”
Selain seorang Q, Mira adalah orang Indonesia pertama yang menjadi World Barista Competition Sensory Judge.“Juri dan Q itu dua pekerjaan berbeda. Q lebih meng-cupping black coffee, mengidentifikasi karakter kopi. Kalau juri, lebih ke beverages, seperti expresso, cappuccino,” ucap sang pengagum Emma Bladyka, ilmuwan kopi asal Amerika Serikat. Kopi telah menerbangkan Mira ke sejumlah kota di Asia, Amerika dan Eropa, untuk menjadi juri atau menghadiri konferensi.
Dunia kopi adalah dunia yang dinamis. Dulu profil kopi yang gelap sangat digemari. Kini konsumen suka larutan kopi yang lebih terang. Perubahan ini ikut memengaruhi posisi duduk juri dalam kompetisi barista. Dulu juri cermat mengamati warna pada tetes-tetes kopi yang diracik barista agar segera mengetahui hasilnya. Sekarang juri tinggal minum apa yang tersedia, karena warna ternyata bukan lagi ukuran baku penentu rasa.
Pertemuan Mira dengan kopi Solok, salah satu kopi Indonesia terbaik, terjadi karena seseorang yang seperti dirinya: mencintai kopi. Suatu hari Aldi, seorang mahasiswa di Padang, membaca tulisan tentang kopi di internet, sehingga tergugah untuk mempromosikan kopi di kampung halamannya di Solok, Sumatra Barat. Ia kemudian membaca profil Mira dan menganggapnya sebagai orang yang tepat untuk mencicipi kopi Solok. “Kopi itu berasal dari kebun petani bernama Pak Rajo,” kenang Mira.
Sejak dua tahun lalu ia dan suaminya, Resha Nareshwara, turut mendukung pendirian koperasi yang memiliki nama tengah petani penggeraknya “Solok Rajo Kopi”. Di Headline, kedai kopi mungil milik Mira yang terletak di Kemang Utara, kopi asal Solok salah satu minuman andalan.
"Makin mengenal kopi, saya makin menemukan banyak kopi yang enak." Ia bercerita bahwa di kalangan pencinta kopi sejagat, varietas Geisha ditahbiskan sebagai mahkota kopi,"Pertama kali ditanam di Boke, Panama, Amerika Selatan." Mira Yudhawati lalu menjelaskan karakternya, “Beraroma bunga, kadar asam lumayan tinggi, dan manis.” Selain kopi Panama, kopi Ethiopia juga istimewa. Dari dalam negeri sendiri, tercetus nama kopi Pangalengan dan Ciwidey, selain kopi Jawa dan Gayo. Namun, peringkat kopi Indonesia di pasar dunia menurun. “Di bawah Vietnam, Brasil, dan Kolombia. Penyebabnya, antara lain bencana alam, juga konsumsi dalam negeri yang terus meningkat,” ucapnya. (LC). Pengarah gaya: Yudith Kindangen, Rias Wajah & Rambut: Alvina Tania, Fotografer: Reita Devita, Busana: Max Mara, Lokasi: Caswell’s Coffee, Jakarta
Pada 2007 Mira yang kini menjabat sebagai sales & marketing manager dari Javarabica atau Caswells Coffee, datang ke pameran kopi di Singapura, yang terbesar di Asia. Gairah para pengunjung. Pesona kopi. Ia terpukau. Setahun kemudian ia dan sejumlah teman mendirikan Specialty Coffee Association of Indonesia. Organisasi ini berinisiatif mengundang ilmuwan kopi dari negara lain untuk berbagi pengetahuan kepada para anggotanya. Cinta memang tak terbendung. Ia dan seorang teman berkorespondensi di internet dengan lelaki Italia yang hendak pergi ke Kuala Lumpur demi kopi. Mereka berdua sengaja menemui orang asing ini, yang bersedia mengajarkan tentang barista (cara membuat dan menyajikan kopi) dan basic cupping (teknik menghirup aroma serta menyeruput kopi).
Ia lantas ikut kelas cupping, yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America (SCAA) hingga menjadi pencicip kopi profesional atau Q Grader, yang terhitung langka di Indonesia tapi penting dan prestisius di industri kopi. “Pembeli tidak perlu lagi dikirimi sample, yang penilaiannya dengan penjual nanti bisa saja berbeda. Pembeli tinggal bilang ke penjual, ‘Saya mau beli kopi kamu, yang sudah disertifikasikan oleh Q’. Kopi dikirim ke minimal dua orang Q dan sebaiknya, tiga, yang menilai berdasarkan bahasa yang sudah dipelajari, sejak kopi digiling sampai diseduh, mulai dari aroma hingga rasa,” kata Mira, menjelaskan tugas seorang Q. Berdasarkan nilai cupping, kopi terbagi tiga kategori, yakni specialty (> 80) benar-benar biji kopi bermutu tinggi, premium (75-79), dan terakhir, commercial.
Kopi tiada mengenal istilah ‘kadaluarsa’, tapi kopi yang telah sirna aromanya bukan lagi minuman lezat. Kopi terbaik memiliki harmoni pada rasa. “Pertama kali yang kita cari justru manisnya. Pahitnya tidak boleh mendominasi,” tutur Mira Yudhawati. Kopi sebagaimana manusia, juga memiliki karakter, sekitar 800-an. Katanya, “Kemampuan mengenali karakter itu berasal dari latihan dan ingatan.” Karena itu sertifikat Q Grader tidak berlaku seumur hidup. Setelah tiga tahun, para Q harus diuji lagi. Semakin sering bersentuhan dengan kopi, makin kaya pengetahuan seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut tertanam dalam memori, lalu bangkit saat seberkas aroma hadir menyentuh saraf penciuman. Ia memberi contoh, “Orang yang sehari-hari me-roasting kopi Toraja misalnya langsung mengenali kopi itu begitu mencium aromanya, meski dia bukan Q.”
Selain seorang Q, Mira adalah orang Indonesia pertama yang menjadi World Barista Competition Sensory Judge.“Juri dan Q itu dua pekerjaan berbeda. Q lebih meng-cupping black coffee, mengidentifikasi karakter kopi. Kalau juri, lebih ke beverages, seperti expresso, cappuccino,” ucap sang pengagum Emma Bladyka, ilmuwan kopi asal Amerika Serikat. Kopi telah menerbangkan Mira ke sejumlah kota di Asia, Amerika dan Eropa, untuk menjadi juri atau menghadiri konferensi.
Dunia kopi adalah dunia yang dinamis. Dulu profil kopi yang gelap sangat digemari. Kini konsumen suka larutan kopi yang lebih terang. Perubahan ini ikut memengaruhi posisi duduk juri dalam kompetisi barista. Dulu juri cermat mengamati warna pada tetes-tetes kopi yang diracik barista agar segera mengetahui hasilnya. Sekarang juri tinggal minum apa yang tersedia, karena warna ternyata bukan lagi ukuran baku penentu rasa.
Pertemuan Mira dengan kopi Solok, salah satu kopi Indonesia terbaik, terjadi karena seseorang yang seperti dirinya: mencintai kopi. Suatu hari Aldi, seorang mahasiswa di Padang, membaca tulisan tentang kopi di internet, sehingga tergugah untuk mempromosikan kopi di kampung halamannya di Solok, Sumatra Barat. Ia kemudian membaca profil Mira dan menganggapnya sebagai orang yang tepat untuk mencicipi kopi Solok. “Kopi itu berasal dari kebun petani bernama Pak Rajo,” kenang Mira.
Sejak dua tahun lalu ia dan suaminya, Resha Nareshwara, turut mendukung pendirian koperasi yang memiliki nama tengah petani penggeraknya “Solok Rajo Kopi”. Di Headline, kedai kopi mungil milik Mira yang terletak di Kemang Utara, kopi asal Solok salah satu minuman andalan.
"Makin mengenal kopi, saya makin menemukan banyak kopi yang enak." Ia bercerita bahwa di kalangan pencinta kopi sejagat, varietas Geisha ditahbiskan sebagai mahkota kopi,"Pertama kali ditanam di Boke, Panama, Amerika Selatan." Mira Yudhawati lalu menjelaskan karakternya, “Beraroma bunga, kadar asam lumayan tinggi, dan manis.” Selain kopi Panama, kopi Ethiopia juga istimewa. Dari dalam negeri sendiri, tercetus nama kopi Pangalengan dan Ciwidey, selain kopi Jawa dan Gayo. Namun, peringkat kopi Indonesia di pasar dunia menurun. “Di bawah Vietnam, Brasil, dan Kolombia. Penyebabnya, antara lain bencana alam, juga konsumsi dalam negeri yang terus meningkat,” ucapnya. (LC). Pengarah gaya: Yudith Kindangen, Rias Wajah & Rambut: Alvina Tania, Fotografer: Reita Devita, Busana: Max Mara, Lokasi: Caswell’s Coffee, Jakarta
Author
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia