Lamut, seni sastra tutur yang merupakan tradisi asal Banjarmasin memang makin menyurut pamornya. Kejayaan kesenian yang dibawakan seorang Palamutan (penutur Lamut) dengan iringan sebuah rebana besar yang biasa disebut tarbang itu seperti bergulir ke titik nadir. Namun Gusti Jamhar Akbar, tetap setia balamut (melantunkan lamut). Palamutan yang lahir pada 7 November 1942 itu mendapat keahlian balamut dari kakek dan ayahnya. . “Saya turunan keempat setelah kakek buyut, kakek, dan ayah saya,” katanya. Kecintaan Jamhar pada lamut tertanam sejak kecil ketika kerap menemani sang ayah, Raden Rosmono memenuhi undangan balamut. Jamhar belajat balamut sejak usia 10 tahun.
Sama seperti tradisi sastra lisan di berbagai daerah di Indonesia, Lamut sempat menjadi kesenian primadona yang pertunjukannya selalu dipadati penonton. Di rentang dekade 60an hingga 80an, hamper setiap hari Jamhar mendapat undangan Balamut yang pentontonya dengan rela berdesakan semalam suntuk mendengarkan kisah lelaki berputra enam itu. “Tak jarang saya menerima undangan dari luar kota Banjarmasin,” katanya mengenang. Namun masa tak bisa berdusta. Ia jujur bercerita tentang kejayaan Lamut yang terus menyurut. Banjarmasin di mana kesenian Lamut lahir, tumbuh, dan sempat memikat para penikmatnya, bukan lagi tempat yang bersahabat. “Sekarang ini makin jarang orang mengadakan acara dan mengundang Palamutan. Mereka lebih senang menanggap hiburan yang lebih modern,” kata Jamhar sambil tersenyum. Ulas senyum yang terlihat pahit dan gamang. Tentu saja Jamhar berhak untuk cemas. Lamut yang hampir sepanjang usia ditekuninya makin tak dikenal, bahkan oleh anak-anak muda di tanahnya. (ISA), Foto: Donny Sophandi