Kisah Menarik di Balik Pembangunan Kota Tubaba
Intip kisah kolaborasi Hanafi, Andra Matin, Auguste Soesastro dalam membangun Kota Tubaba.
17 Nov 2016


1 / 2
Awal mula kolaborasi?
Hanafi: Andra Matin mengajak saya berkolaborasi dan mengenalkan saya kepada Pak Umar Ahmad, Bupati Tubaba (kabupaten Tulang Bawang Barat).  Sebelum itu Pak Umar mengenal Putu Winten, artisan dari Bali, yang membuat Tugu Rato, patung dua naga yang menarik kereta kencana, salah satu penanda kota Tubaba. Pak Umar gelisah, karena diberi kuasa untuk memimpin sebuah kabupaten pemekaran yang hasil panennya tidak lagi memuaskan, sedangkan elemen-elemen yang menarik untuk tujuan wisata tidak ada. Tubaba berada di sebuah ceruk, yang membuatnya sekarang ini tidak dilewati oleh banyak kendaraan umum atau jalan besar menuju kota-kota lain.
 
Andra Matin: Sekitar dua-tiga tahun lalu, Pak Umar datang ke toko pakaian milik klien saya dan bercerita bahwa dia seorang bupati yang ingin membangun daerahnya. Klien saya mengatakan bahwa dia tidak bakal salah kalau memilih saya menjadi arsitek di sana. Pak Umar meminta saya mendesain masjid dan balai adat atau sesat. Tapi bangunan-bangunan ini percuma kalau dibiarkan kosong, harus ada ruhnya, harus ada programnya. Dia lantas ingin ada satu karya seniman, selain arsitektur. Kalau begitu Mas Hanafi saja, kata saya. Sebelum itu saya pernah bekerja sama dengan Mas Hanafi ketika membuat taman di Ende, Flores. Saya mendesain tamannya. Mas Hanafi mendesain patungnya, patung Bung Karno. Bekerja sama dengan Mas Hanafi itu menyenangkan. Dia profesional. Seleranya bagus. Ketika saya mengajak Mas Hanafi terlibat dalam proyek Tubaba terjadi perkembangan luar biasa, yaitu saya berkenalan dengan Mbak Dinda (Adinda Luthvianti) yang  akhirnya mengerjakan program atau memberi ruh pada arsitektur yang telah kami buat. Dia mengembangkan kebudayaan Tubaba. Setelah itu Mas Hanafi mengenalkan saya kepada Auguste dan mengajaknya berkolaborasi dengan kami.
 
Auguste Soesastro: Mas Hanafi menghubungi saya.  Karena dia mengajak, saya langsung setuju. Waktu dia mengatakan bahwa Andra Matin yang membuat masjid dan rumah adatnya, saya makin yakin. Awalnya saya agak takut. Saya takut tidak selevel dengan mereka. Hahaha…. Mereka berdua ‘kan sudah hebat sekali.
 
Tantangannya?
Hanafi: Menjembatani komunikasi satu sama lain, agar proyek ini berjalan lancar.
 
Andra Matin: Instrumen-instrumen negara tidak terlalu terhubung dengan kami yang lebih fokus kepada content. Tapi kemudian hal itu teratasi. Pihak kabupaten yang menyelesaikannya.
 
Auguste Soesastro: Saya mengerjakan desain baju ini berdasarkan arsitektur Mas Aang (Andra Matin) yang kontemporer. Desain pun saya sesuaikan agar orang setempat bisa menjahitnya. Saya membuat rancangan ini untuk mereka, silakan direduplikasi atau dikembangkan sendiri.
 
Ide menciptakan Baitul Sobur atau Masjid 99 Cahaya?
Andra Matin: Saya melihat kebanyakan simbol-simbol masjid yang dibuat di Indonesia adalah simbol-simbol yang langsung kentara.  Tapi saya ingin membuat simbol-simbol yang lebih subtil.  Saya pun menggunakan angka-angka.  Misalnya, ketinggian masjid 30 meter itu dari 30 jus Alquran. Bentuk menaranya bukan segiempat, tapi segilima, yang melambangkan rukun Islam. Jalan setapak dari tempat wudhu ke masjid  menggunakan 114 tiang, yaitu dari 114 surat dalam Alquran.  Nah, 99 titik masuk cahaya di langit-langitnya melambangkan 99 sifat Allah, 99 Asmaul Husna. Semua makna terhubung dengan dengan Alquran dan rukun Islam.  Nama-nama Allah tertera pada plafon.
 
Reaksi terhadap konsep arsitektur masjid ini, yang tanpa kubah ini?
Andra Matin: Masjid Nabawi juga tidak berkubah.  Masjidil Harram juga tidak punya kubah.  Tapi arsitektur di Soviet malah memiliki kubah. Dalam Alquran tidak ada ketentuan tentang fisik sebuah masjid. Dengan mendesain masjid seperti ini, saya juga ingin membuktikan bahwa orang-orang Islam itu adalah orang-orang kreatif, orang-orang yang punya kemerdekaan berimajinasi. Sejauh itu tidak melanggar asasnya, tentu saja bisa dan dapat menjadi terobosan. Beruntung bagi saya, karena Pak Bupati yang menjelaskan konsep ini kepada  perangkat pemerintahan dan masyarakatnya. Dia berkata, siapa yang dapat membuat revolusi kalau bukan kita sendiri. Dia luar biasa.
 
Proses mendesain pakaian khusus Tubaba?
Auguste Soesastro: Pakaian selalu ada hubungannya dengan lifestyle, dengan keperluan, tapi juga berkorelasi dengan desain rumah adat. Ini seperti teater.  Ada latar, ada pemain. Nah, keduanya harus satu kesatuan look-nya. Meski entitasnya terpisah, tapi bagaikan sebuah kolaborasi. Harus sejajar. Tidak boleh seperti persaingan. Selain itu, saya tidak melakukan sebuah konservasi budaya melalui desain ini. Saya mendesain berdasarkan arsitektur Mas Aang (Andra Matin). Tidak ada motif.  Polos. Sebuah struktur.  Warnanya netral.  Baju itu juga saya ciptakan supaya mereka bisa mereplikasi. Kalau saya ciptakan yang bahannya susah didapatkan dan warnanya susah didapatkan, mereka tidak bisa mereplikasinya dan itu tidak bisa jadi pakaian sehari-hari. Baju adat itu  ada demokratisasinya, sehingga semua orang bisa memakai.  Ada baju rakyat untuk semua orang, ada baju dinas untuk pegawai pemerintah, ada baju adat buat upacara perkawinan, dan ada baju tari.  Cirinya bukan pada motif, tapi potongan dan kontras warna.
 
Fungsi Q-Forest?
Andra Matin: Setelah  mendesain masjid dan balai adat, saya diminta mendesain hotel kecil, museum seni kontemporer, pasar, sasana olah raga dan sekolah unggulan. Cita-cita Pak Umar adalah membuat sekolah unggulan, sehingga orang-orang datang dan Tubaba dapat menjadi destinasi. Dia juga ingin kami mendesain Q-Forest, yang menjadi semacam sindiran secara intelektual bahwa makin lama hutan kita makin hilang.. Saya dan Mas Hanafi berkolaborasi untuk membuat konsepnya.
 
Hanafi: Dari masjid yang fenomenal itu, yang 99 titik cahaya memantul pada lantainya, ada jembatan yang menghubungkan masjid dengan balai adat, sehingga menjadi satu-kesatuan. Q-Forest terletak di belakang bangunan-bangunan ini. Ia sebuah hutan lindung.  Karena di Tubaba tidak ada potensi ekonomi yang bisa digerakkan cepat seperti pertambangan, maka kota ini harus punya visi yang jelas. Visinya adalah memberi oksigen kepada umat manusia lewat Q-Forest. Sementara arsitektur, seni dan budaya adalah oksigen budayanya.
 
 
Inspirasi desain?
Andra Matin: Tubaba itu datar, dengan kebun karet dan singkong.  Sungainya setiap tahun meluap. Tantangannya adalah bagaimana air yang meluap itu menjadi danau dan bagaimana supaya dapat menyimpan air, karena di sana sebetulnya kekurangan air. Makanya di sekitar masjid itu saya buat kolam untuk menyimpan air .  Beberapa kampung di sana masih asli dan menginspirasi saya untuk membuat balai adat. Atap-atapnya simbol dari empat suku besar di Tubaba  dan lima suku lain yang banyak datang dari seluruh Indonesia. Antara balai adat yang disebut sesat dan masjid itu saling melengkapi. Keseimbangan yang tidak simetris, yang diajarkan Tuhan kepada kita. Sehingga yang satu bentuknya lebih horizontal, habluminannas, dan masjid lebih vertikal, habluminaullah. Saling bergantung, saling berdekatan. Sebagai orang beragama, harus seimbang antara hubungan kita dengan Tuhan dan dengan manusia.
 
 
Auguste Soesastro: Ketika mewawancarai orang-orang Tubaba dan para tetua mengenai sastra  di Tubaba, mental state mereka dapat diketahui. Mereka petani. Lifestyle sangat simpel.  Landscape datar, tidak terlalu subur dan warna landscape pun terlihat jelas. Setiap kota, setiap landscape punya warna. Mungkin baju yang saya buat ini, 20 tahun dari sekarang sudah tidak ada.  Tapi arsitektur yang ikonik karya Mas Aang (Andra Matin) masih bertahan. Itulah kehebatan arsitektur.
 

 

Author

DEWI INDONESIA