Kebanyakan kehidupan perempuan seperti dijungkirbalikkan ketika ia memutuskan untuk menikah dan berkeluarga. Tidak jarang seorang perempuan dihadapkan pada pilihan antara melanjutkan kariernya atau fokus mengurus keluarga sebagai ibu rumah tangga. Pilihan ini lantas semakin nyata saat mereka mempunyai anak. Dan pilihan meninggalkan karier untuk mengurus keluarga kerap dipandang sebagai pilihan yang lebih mulia bagi seorang perempuan.
Padahal, saat seorang ibu juga berdaya secara ekonomi dampaknya tidak berhenti pada penghasilan tambahan. Pemberdayaan perempuan secara ekonomi mempunyai riak dampak yang cukup nyata. “Misalnya tadinya uang dari suami hanya cukup untuk membayar uang sekolah, sebetulnya dengan ibunya bekerja sang anak jadi bisa mengikuti les yang mendukung hobi serta minat-bakatnya, dan ujungnya bisa membantu mengatasi ketimpangan ekonomi,” kata Katharina Inkiriwang.
Dilihat dari tumbuh kembang anak pun, Katharina mengatakan anak yang memiliki ibu pekerja atau wiraswasta cenderung akan menjadi lebih dewasa. “Karena dia biasanya sudah mulai membantu ibunya, tapi juga ibu yang produktif memicu anak untuk mandiri supaya tidak merepotkan ibunya,” jelas Katharina.
Katharina bekerja sebagai Vice President SEAF of Indonesia, suatu lembaga manajemen investasi yang memberikan pendanaan bagi bisnis-bisnis kecil dan menengah. Yang menarik, SEAF memiliki satu program pendanaan khusus yang fokus untuk mengembangkan bisnis-bisnis yang dijalankan oleh perempuan. Sebelumnya, Katharina telah lama malang melintang bekerja di bidang keuangan dan private equity. “Tapi saya pikir berkarier itu kan enggak semuanya tentang uang. Tapi ada rasa fullfilment juga,” ujar Katharina.
Ia pun kemudian bergabung dengan SEAF dan menangani beberapa proyek-proyek pemberdayaan ekonomi perempuan. Katharina menjelaskan dulu program pendanaan yang diberikan SEAF terfokus pada bisnis-bisnis yang dimiliki dan dikepalai perempuan. Salah satunya adalah kafe dan toko roti di bilangan Jakarta, BEAU. Namun kemudian, program ini diekspansi. “Jadi sekarang kami menyiapkan produk investasi baru yang tidak hanya menayasar bisnis milik perempuan, tetapi juga bisnis yang sebagian besar pegawainya dan atau konsumennya kebanyakan perempuan,” kata Katharina.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebetulnya jumlah perempuan yang termasuk pekerja formal cukup signifikan, yakni sebesar 38,2 persen. Meskipun memang masih terdapat gap yang cukup jauh dibandingkan laki-laki yang 46,29 persen di antaranya adalah pekerja formal. Melihat angka ini, ketimpangan ekonomi antara perempuan pekerja dan laki-laki pekerja memang terasa tidak buruk-buruk amat. Namun, bagaimana dengan kualitasnya? Nyatanya kebanyakan perempuan bekerja di bawah lingkungan yang tidak ramah perempuan, terlebih lagi tidak ramah ibu. Mulai dari sarana dan prasarana seperti ruang menyusui misalnya hingga larangan membawa anak ke kantor di beberapa tempat kerja.
Maka dari itu untuk membuat riak dampak yang lebih besar, ketika Katharina bersama timnya memutuskan untuk berinvestasi ke sebuah bisnis—seperti yang ia lakukan terhadap BEAU, maka ia tak sekadar menyuntikkan dana. Melainkan juga mengevaluasi seluruh Standar Operasional Prosedur (SOP). Hal ini termasuk melihat apakah periode cuti hamil sudah memadai dan sebisa mungkin meminimalisasi pay gap atau kesenjangan gaji antara karyawan perempuan dan laki-laki, entah itu gaji pokok atau pun tunjangan. Intinya adalah untuk membuat ekosistem kerja yang seramah mungkin bagi seluruh pekerja, termasuk perempuan.
Soal evaluasi SOP ini tidak melulu ia lakukan dalam konteks profesional, tetapi juga kerap ia lakukan kala berdiskusi dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Ia bercerita pernah suatu kali seorang sahabatnya yang memiliki pabrik garmen mempraktikkan SOP yang disarankan Katharina dan memberikan testimoni positif. Bahwa ketika kebutuhan para pekerjanya diakomodasi, mereka akan menjadi lebih produktif. Hal ini juga diamini hasil riset McKinsey pada 2017 menunjukkan perusahaan dengan tingkat kesetaraan gender yang lebih baik memiliki kinerja yang lebih baik pula. Begitu juga riset International Labour Organization (ILO) pada 2019 yang menunjukkan dari 13.000 perusahaan di 70 negara, 57 persen di antaranya menyatakan peningkatan pekerja perempuan di perusahaan berbanding lurus dengan peningkatan hasil produksi dan peningkatan profit sekitar 10% hingga15 persen.
Perempuan memang sumber daya ekonomi yang belum dikelola secara optimal. Data BPS menunjukkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia per 2018 sebesar Rp14.837 triliun dan 60 persen di antaranya merupakan kontribusi dari Usaha Menengah Kecil dan Mikro. Berdasarkan data Bank Indonesia, ada sekitar 37 juta pelaku UMKM per 2018 dan 60 persen di antaranya dikelola oleh perempuan. “Kemudian ada 40 persen lainnya itu yang dipegang oleh perusahaan besar dan juga banyak mempekerjakan atau melayani konsumen perempuan. Jadi ya bisa dilihat potensinya segitu banyak,” kata Katharina.
Dalam hal menjalankan bisnisnya, Katharina menjelaskan bagaimana perempuan cenderung memiliki pendekatan yang berbeda. “Yang menarik dari bisnis-bisnis yang dipimpin perempuan itu biasanya mereka tidak dirancang karena sengaja mencari peluang. Melainkan justru berangkat dari cerita-cerita atau pengalaman pribadi yang kemudian berkembang menjadi bisnis,” papar perempuan yang juga berbisnis pakaian minimalis ini.
Tidak hanya dalam memulai bisnis, dalam menjalankan bisnis pun Katharina menilai perempuan adalah pebisnis yang memiliki kecenderungan menjadi lebih grounded. “Seperti Talita (Setyadi), ketika ia merencanakan pembuatan BEAU, satu hal yang ia siapkan pertama adalah pabrik. Supaya meskipun awalnya hanya memproduksi dalam jumlah terbatas, ketika bisnis ini sudah mulai running dan butuh perbanyak produksi mereka sudah siap. Sementara kalau laki-laki itu cenderung mulai aja dulu, tapi untuk urusan operasionalnya kedodoran,” kata Katharina.
Pula, ia menceritakan bagaimana semangat pemberdayaan kerap menjadi visi para perempuan pebisnis. Kembali ia memutar cerita awal mula pendirian BEAU. “Visi dia sejak awal membuka BEAU ini adalah untuk meningkatkan kapasitas para pekerjanya dan itu menjadi nilai lebih bagi pegawainya yang membuat mereka betah,” lanjutnya.
Sepintas, usaha pemberdayaan perempuan secara ekonomi terlihat berjalan pelan tapi pasti. Tetapi bukan berarti tanpa tantangan. Dalam perjalanannya, ia melihat norma masyarakat masih menjadi tantangan utama. Kembali mengacu pada studi New Mandala dan LSI, lebih dari 90 persen responden mereka sangat setuju dengan pernyataan “Perempuan mesti meminta izin suaminya untuk bekerja.” Selain itu, Katharina juga menjelaskan bagaimana di Indonesia banyak perusahaan yang dipimpin dan dikelola perempuan, tetapi mereka tidak mempunyai kepemilikan signifikan di sana. “Paling banyak 5-20 persen. Ini karena di Indonesia perhitungan saham itu tidak mengakomodasi yang namanya “sweat valuation” atau “uang capek”, yang dihitung, ya, uang keras yang ditanamkan di perusahaan tersebut,” papar Katharina. Dampaknya adalah perempuan tidak bisa leluasa dalam menyesuaikan kebijakan perusahaan yang sekiranya bisa menipiskan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan pekerja, tetapi membutuhkan investasi lebih. Apalagi hasil riset ILO juga menunjukkan di jajaran direksi perusahaan biasanya rasio antara direktur laki-laki dan perempuan masih berkisar pada 60-40.
Berbagai hasil riset yang menunjukkan korelasi positif antara keterlibatan perempuan terhadap berbagai lini dalam tatanan sosial membuat banyak yang berjargon The Future is Female. “Saya rasa kenapa kita menggunakan term itu sebenarnya karena, ibarat mengayuh sepeda, sekarang kita mulai mengayuh kedua pedalnya dari yang sebelumnya hanya sebelah,” respons Katharina ketika saya mengutarakan hal itu.
Ia menekankan bahwa semangat dari jargon itu adalah kolaborasi. Bahwa untuk bergerak maju perempuan dan laki-laki mesti berkolaborasi dan bergerak bersama untuk memberdayakan sumber daya perempuan yang punya potensi begitu besar dan selama ini underutilized. (Shuliya Ratanavara)