Ketik nama “Abie Abdillah” di mesin pencarian internet. Anda akan menemukan bahwa namanya tidak hanya disebut di Indonesia, tetapi sampai ke Eropa. Saat ini, Abie Abdillah menjadi satu-satunya orang Indonesia yang namanya tercantum di website Cappellini. Ini adalah label furnitur terkemuka asal Milan, Italia. Abie bersanding dengan desainer-desainer dunia seperti Jasper Morrison, Marcel Wanders, dan Tom Dixon. Kursi rotan bertajuk ‘Lukis Chair’ buatan Abie menjadi bagian dari koleksi Cappellini.
Tahun 2015, Abie mengikuti pameran desain tahunan di Jakarta dan memajang prototype Lukis Chair. Giulio Cappellini yang hadir di acara tersebut, melihat kursi rotan karya Abie dan seketika jatuh hati. Perkenalan dan obrolan keduanya menghasilkan kolaborasi. Kursi rotan pun dibuat sesempurna mungkin, sesuai standar yang dihendaki Cappellini. Setelah rampung, Abie mengirimkannya melalui jalur udara ke Milan. Terjadi beberapa kali diskusi dan revisi sampai delapan bulan lamanya. Februari 2016, Cappellini mengikutsertakan Lukis Chair untuk dipamerkan di acara desain akbar dunia, Milan Design Week 2016.
“Waktu di Jakarta saat kolaborasi terbentuk, saya bilang ke Giulio, ‘Thank you for this opportunity. It is like a dream come true for me’. Lalu saat kami bertemu kembali di Milan satu tahun kemudian, Giulio mengatakan ‘Hi Abie! Look at your chair. It’s not a dream anymore’. Senang sekali dia ingat kata-kata saya waktu di Jakarta,” cerita pria kelahiran 31 Desember 1986 ini dengan wajah berseri. Kursi Lukis Chair sebetulnya dibuat Abie untuk kompetisi Indonesia Furniture Design Awards di 2011, ia mendapat Platinum Prize untuk karyanya.
Jauh sebelum kursi rotannya dikoleksi Cappellini, Abie Abdillah punya sederet prestasi membanggakan di pentas dunia. Tahun 2011, kursi rotan ‘Loop Lounge Chair and Curvo Chair’ lansiran Abie terpajang di acara pameran interior IMM Cologne di Cologne, Jerman. Di tahun yang sama ia pun memenangkan penghargaan “Honourable Mention Winner” di ajang Singapore Furniture Design Award. Abie juga menjadi wakil Indonesia yang masuk dalam kategori Rising Design Talents di ajang Maison et Objet Asia 2015 di Singapura.
Abie kemudian menciptakan kursi rotan bernama ‘Doeloe Lounge’ yang inspirasinya dari desain kendaraan oplet, transportasi umum di Jakarta tahun 1930 - 1979. Tahun 2016 kemarin, kursi ‘Doeloe Lounge’ terpajang cantik di ajang Sempering Museo delle Culture Triennale di Milan, Italia, disandingkan dengan karya Kengo Kuma, Shigeru Ban, Patricia Urquiola, Marcel Wanders, Ronan & Erwan Bouroullec, dan desainer kelas dunia lainnya. Abie menjadi satu-satunya desainer dari Asia Tenggara yang berpameran di acara seni tersebut. Keterlibatan Abie di ajang itu sebab dirinya diundang langsung oleh para professor dari Politecnico Milan sebagai kurator pameran.
“Membanggakan bukan karena Abie Abdillah bisa memamerkan karyanya di pentas desain internasional, tapi lebih karena kursi rotan Indonesia bisa berdiri sejajar dengan furnitur kelas dunia,” ujar Abie.
Ketika ditanya asal-usul gairahnya terhadap rotan, Abie menjawab “Saya suka material rotan karena kita tidak bisa sekadar pasrah dengan bentuknya, tapi kita bisa bermain dengan karakternya.” Ia lantas menceritakan proses kerjanya. Sebelum tahap gambar, Abie perlu meneliti material yang akan ia gunakan. “Setiap spesies rotan itu menghasilkan efek yang berbeda. Untuk anyaman, rotan terbaiknya dari Kalimantan. Untuk rangka, bagusnya rotan dari Sumatera dan Sulawesi”. Setelah menggambar sketsa, ia buat bentuk visual tiga dimensi, kemudian masuk proses produksi di pabrik di Cirebon.
Salah satu karya rotan Abie lainnya yaitu kursi ‘Pretzel Bench’ yang desainnya mengadopsi bentuk pretzel. Bentuk kue pretzel yang berupa garis tersambung tanpa putus itu diterapkan pada rotan dan menjadi kursi yang cantik namun kuat. Dalam proses pembuatannya, Abie menguapkan rotan sehingga membentuk lengkungan yang lentur. Tahun 2015, kursi Pretzel Bench terpilih dalam seleksi Gwangju Design Biennale di Korea Selatan dan Innovative Craft Awards di Bangkok.
“Sebetulnya saya hanya cukup beruntung karena berada di waktu yang tepat. Saat lulus kuliah, tren desain produk sedang marak dan mulai banyak orang peduli terhadap karya seni dan kerajinan tangan,” Abie berkata merendah, tentang segala kinerjanya yang diakui dunia internasional. Persinggungan Abie dengan rotan sendiri terjadi saat ia kecil. Di teras rumahnya, ada satu kursi rotan berbentuk bulat yang kerap menjadi tempat duduknya saat bermain dengan ibu dan kakak, tempat berbagai memori menyenangkan masa kecilnya tersimpan.
Ketika SMA, cita-cita Abie sebenarnya ingin kuliah Desain Komunikasi Visual. Sayangnya tidak diterima. “Akhirnya saya ikut tes masuk Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) karena saya yakin, kalau tes di Fakultas Teknik pasti nggak lulus, soalnya nilai IPA saya jelek. Pokoknya saya harus bisa kuliah di ITB!” ceritanya tertawa. Kegigihan ingin kuliah di ITB itu muncul karena Abie ingat betul perkataan ibunya. “Waktu umur 2 tahun, saya diajak orangtua naik kuda di ITB. Pas keliling kampus, ibu bilang ‘Nanti kamu kuliah di sini ya kalau sudah besar’. Itu membekas sekali di saya,” kisah Abie. Ayah Abie adalah lulusan studi Matematika Universitas Padjajaran Bandung. Ayahnya sempat berkuliah di Matematika ITB, namun harus ditinggalkan. “Mungkin karena beliau tidak sempat lulus dari ITB, akhirnya selalu mengulang-ulang cerita itu, dan saya terinspirasi untuk bisa kuliah di ITB”.
Saat kuliah, Abie menyadari suatu hal. “Rasanya di dunia kerja, saya nggak bisa bersaing dengan orang-orang yang gambarnya bagus-bagus. Sejak itu saya mikir, saya harus cari ide yang lain,” kata Abie. Ia ingin ada unsur Indonesia dalam karyanya, dan kemudian Abie mengetahui, rotan itu khas Indonesia karena 80% kebutuhan rotan di dunia bahan bakunya berasal dari Indonesia.
Sayangnya, jurusan yang ia ambil tidak memungkinkan Abie mengunjungi pabrik-pabrik rotan. Maka ia pun diam-diam ikut kunjungan mahasiswa jurusan Desain Interior ke pabrik Yamakawa Rattan di Cirebon, Jawa Barat. Saat itu, tahun 2007, Abie sempat berjumpa desainer sekaligus pendiri perusahaan, Yuzuru Yamakawa. Kata Abie, “Dia bilang, desainer Indonesia jika ingin mendunia, jadilah desainer rotan. Karena material seperti kayu dan besi sudah banyak diolah desainer-desainer dunia”. Ucapan itu semakin menguatkan keyakinan Abie untuk mengolah rotan menjadi karya seni dan desain produk. Untuk memuluskan impiannya, ia kemudian magang sebagai desainer interior di Zylia Design Studio milik Joshua Simandjuntak. Kini, Abie Abdillah telah membuka Studio Hiji miliknya sendiri, yang sekaligus nama label mebel berbasis rotan karyanya.
Tahun ini, produk Studio Hiji lansiran Abie Abdillah lolos kurasi dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia dan segera dipamerkan di ajang Ambiente Frankfurt di Jerman, Februari 2017 dan acara Indonesia Design Week 2017. Abie menaruh harapan tinggi pada karyanya. Ia ingin rotan bisa diterima publik internasional dan menjadi komoditas komersil yang bisa menghidupi kehidupan masyarakat sekitar. “Mengolah rotan itu tidak memakai mesin-mesin besar dan tenaga listik tinggi, pekerjanya adalah manusia. Jika rotan kian diterima publik, maka makin banyak kehidupan manusia pengrajinnya yang terbantu,” ujar Abie.
Rotan sendiri tumbuh di hutan tropis dan berfungsi sebagai tempat merambat pohon-pohon lain yang mencari sinar matahari. Adanya rotan sejatinya melestarikan hutan-hutan di Indonesia, apalagi rotan hanya butuh waktu satu tahun untuk tumbuh besar setelah ditebang. “Saya berada di bidang ilmu yang sangat bisa menciptakan sampah jika produk saya terbuang. Maka penting untuk membuat karya yang punya kegunaan dan nilai pakai.”
Kini ketika Abie menemukan kenikmatan berkarya dengan rotan, hingga terkenal di panggung internasional, nyatanya ia menjumpai kendala. Masalah terbesarnya ialah persepsi banyak orang yang masih keliru terhadap rotan. “Banyak orang anggap rotan itu murahan, nggak kuat, dan kuno. Menjadi tantangan saya untuk membuktikan itu semua tidak tepat,” ujar Abie. Ia bercerita, sebetulnya dengan proses yang ideal dan konstruksi yang tepat, sebuah rotan mampu menjadi produk bernilai seni yang punya masa depan.
Terpilihnya kursi rotan Abie untuk jadi bagian koleksi Cappellini dianggapnya sebagai langkah penting untuk menunjukkan rotan Indonesia bisa masuk desain kelas dunia. Giulio Cappellini, desainer asal Milan itu menjelaskan alasan ia menyukai kursi rotan Abie Abdillah. Menurutnya, kursi rotan Indonesia merepresentasikan karya kontemporer klasik tapi tetap sederhana. Karena menggunakan rotan, maka teknik kerajinan tangannya pun sangat tinggi. Menciptakan hal itu sangat sulit. “Cappellini bilang, syarat sebuah produk masuk Cappellini bukan barang yang cepat laku. Tetapi karya yang umurnya panjang. Ini menjadi momen penting yang seharusnya menciptakan kebanggaan di diri kita terhadap rotan Indonesia.” ujar Abie. (RR) Foto: Agus Santoso.
Author
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"