Dewi Berbincang Dengan Vivian Idris Tentang Perbedaan Pengrajin Kain Lokal Dengan Pengrajin Di India
Setelah melakukan perjalanan mengunjungi sentra perajin di India, Vivian Idris menuangkan segala hal yang ia pelajari untuk memajukan kondisi perajin lokal.
3 Mar 2017





Seperti Indonesia, India memiliki tradisi lokal yang beragam. Salah satunya tertuang dalam bidang tekstil. Pemerintah setempat menggerakkan setiap individu dan instansi yang memiliki peran di bidang pelestarian budaya untuk bekerjasama memajukan kondisi perajin lokal.
Beberapa waktu lalu Toraja Melo menggagas sebuah program studi banding ke negara tersebut. Perjalanan tersebut bekerjasama dengan Yayasan PEKA, Lembaga Swadaya Masyarakat MAMPU Indonesia, BEKRAF, dan Biru Terong Initiative. Dewi berbincang dengan Vivian Idris, penggagas Biru Terong Initiative, sebuah organisasi yang memiliki ketertarikan akan budaya. Dalam perjalanan ini, Biru Terong Initiative menjadi pihak yang akan merangkum hasil perjalanan dan memberikannya pada para pemangku kepentingan.

Bagaimana pendapat Anda tentang dukungan pemerintah India terhadap para perajin lokal?

Kerajinan tangan (craft) mendapat perhatian khusus sebab craft adalah income generator terbesar kedua setelah sektor agrikultur di India. Sejak dulu India terkenal dengan produksi tekstilnya. Pemerintah India menyadari bahwa untuk memproduksi kain, mereka membutuhkan bahan baku yaitu benang yang dibuat dari kapas. Maka perkebunan kapas ada di mana-mana dan pabrik tekstil dibangun bersebelahan dengan lokasi perkebunan untuk efisiensi produksi dengan biaya yang dibutuhkan untuk membawa bahan baku ke tempat produksi menjadi sangat kecil.
 
Apakah hal menarik yang Anda temui ketika mengunjungi sentra perajin di India?
 
Kami mengunjungi artist initiative Craft Village di New Delhi, Kala Raksha museum, workshop dan pemberdaya/ pelatihan artisan indigenous di Kuch, Ahmedabad, Khamir workshop dan pemberdaya/ pelatihan artisan indigenous di Kachchh, Ahmedabad dan keluarga penenun Manu Craft, Kutch, Ahmedabad.
 
Menarik sekali melihat proses diskusi dan bekerja para artisan dan pemberdaya di Craft Village, Khamir, dan Kala Raksha. Para artisan diberikan pelatihan dan ruang diskusi untuk bernegosiasi tentang desain dan implementasi terbaik dalam pengerjaan kerajinan. Terjadi proses pembelajaran dan interaksi yang sangat demokratis di antara para artisan dan pemberdaya/ aktivis, atau dengan pengusaha.
 
Di Kutch, kami mengunjungi kediaman seorang artisan tenun dari komunitas/ klan Meghwal. Vankar Meghji Harji dan Bharat anak lelakinya adalah penenun, Vankar seorang artisan dengan kemampuan desain yang istimewa dan mendapatkan penghargaan Presiden India karena keindahan karya tenunnya. Keluarga ini sangat menginspirasi, Vankar yang ayahnya seorang penenun juga mengajak anaknya Bharat, yang lulusan S2 pendidikan untuk menenun. Bharat mengajar di pagi hari dan seusai mengajar dia juga menenun. Sangat jelas bagaimana keluarga ini menghargai 'ancestral occupation' mereka sebagai penenun. Para artisan lokal paham betul mengapa mereka memilih untuk tetap menenun, selain sebagai media ekspresi artistik, mereka juga paham bahwa kemampuan tenun mereka bisa menjadi sumber pendapatan. Dalam menenun mereka bisa bekerja di rumah mereka sendiri dalam kondisi yang relatif nyaman, dan pekerjaan menenun tidak hanya melibatkan aktivitas fisik tapi juga proses mental. Mereka juga sangat paham bahwa tenun adalah kekayaan budaya dan dengan memilih terus menenun mereka melestarikan kebudayaan mereka.

Bagaimana suasana diskusi yang terjadi di Craft Village?  

Diskusi di Craft Village adalah seputar tujuan dari organisasi dan apa yang mereka lakukan. Craft Village digawangi oleh Iti Tyagi dan Somesh Singh, pasangan suami isteri yang berkecimpung di dunia seni.
 
Target audiens Craft Village adalah masyarakat urban yang sebagian besar terasing dari akar budayanya sendiri. Permintaan untuk mengetahui dan mempelajari kerajinan masih ada, namun dengan gaya hidup yang super sibuk hampir tidak ada masyarakat kota yang punya waktu untuk mengunjungi pusat-pusat kerajinan di pelosok India. Hal ini memotivasi Iti Tyagi membangun sebuah craft center di metropolitan, maka lahirlah Craft Village. Yang dilakukan Craft Village adalah menjawab kebutuhan masyarakat kota dengan membalik situasi yaitu dengan membawa kerajinan dan artisan dari pelosok India (laut, gunung, dan padang pasir) ke kota. Sehingga orang kota yang waktunya terbatas tetap bisa mengenal dan belajar tentang kerajinan.
 
Craft Village mengadakan banyak workshop dan mengenalkan bermacam-macam kerajinan dari pelosok India. Harapannya audiens yang hadir dalam workshop ini akan mengingat dan mencari bentuk-bentuk tersebut ketika mereka berbelanja, pengetahuan ini ikut mendorong meningkatnya demand pada kerajinan lokal.
 
Menurut Anda, apakah bentuk dukungan pemerintah India bisa menginspirasi pemerintah Indonesia untuk membuat program serupa?

Banyak inspirasi yang kami dapat dari perjalanan ini, ada hal-hal yang sudah dilakukan oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah dan masih banyak yang bisa diaplikasikan di Indonesia dalam berbagai lapisan di tingkat lokal maupun nasional. Namun untuk menuju kondisi seperti India, perlu perubahan paradigma dan political will yang besar, cakupan dan kapasitas pekerjaan sebesar ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, tentunya dengan dukungan sektor privat, media, institusi pendidikan, dan berbagai pemangku kepentingan. Tapi kami tetap semangat, selalu ada jalan untuk orang-orang yang mau bekerja keras. Dan beberapa tahun terakhir terlihat sebuah gerakan kembali kepada kebudayaan kearifan lokal yang cukup masif di berbagai industri, seperti kuliner, fashion, & pariwisata, dan media berperan besar dalam menguatkan gaung gerakan ini.  (RW & JAR) Foto: Dok. Ari Seputra, dewi, fbudi, Indonesia Fashion Forward, Major Minor, TOTON, Tropenmuseum, Wikimedia Commons
 

 

Author

DEWI INDONESIA