Sejak kasus COVID-19 di Wuhan mulai diberitakan, saya tak pernah luput membaca beritanya setiap hari. Saya bahkan sampai berlangganan konten salah satu media internasional hanya untuk mendapatkan akses penuh atas semua informasi terbaru terkait virus ini.
Kenapa saya sampai segitunya peduli akan isu ini? Sejak awal, saya percaya kalau COVID-19 kemungkinan besar akan menjadi pandemi global. Dan saya tak percaya Indonesia punya nol kasus. Saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala saat pejabat Kementerian Kesehatan baru mengumumkan kalau pengidap COVID-19 sebenarnya bisa saja tak bergejala. Padahal, informasi soal itu sudah ada satu bulan sebelumnya.
Yang sebenarnya menyeramkan dari korona sejak awal penyebarannya adalah beragam disinformasi yang muncul. Di Indonesia hal itu terbukti dan bahkan terjadi secara fatal. Contohnya soal kloroquine sebagai obat korona. Sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan kalau pemerintah bermaksud untuk menyiapkan avigan dan kloroquine sebagai obat untuk korona (meskipun belum terbukti secara klinis), pembicaraan di grup WhatsApp teman perkuliahan saya sudah membahas soal obat ini.
Seorang teman saya mengatakan kalau dia dan suami beserta anak, rutin meminum kloroquine setiap hari sebagai upaya pencegahan korona. Dia menuruti kata-kata suaminya yang kebetulan sering bepergian ke daerah endemik malaria untuk ikut meminum obat. Hanya berbekal membaca, suaminya mengambil alih peran sebagai dokter bagi keluarganya dan menganggap kloroquine sebagai pencegah virus.
Padahal, kloroquine harus diminum dengan resep dokter, dan takaran untuk setiap kelompok umur bisa jadi berbeda. Usai dengan bangga membagikan informasi soal kloroquine itu, beberapa kawan saya pun tertarik untuk mencoba mengonsumsinya sebagai ‘upaya pencegahan.’ Setelahnya, obat ini dicari-cari di seluruh apotek, karena dianggap bisa ‘mencegah’ korona. Sesuatu yang belakangan dibantah oleh para dokter.
Tapi, siapa yang percaya pendapat dokter kalau pengalaman teman di WhatsApp Group terdengar lebih meyakinkan? Masih banyak masyarakat yang percaya kalau kloroquine adalah obat korona akibat informasi yang beredar dari WhatsApp Group. Ditambah lagi Presiden Jokowi mengumumkan soal pengadaan obat ini secara khusus.
Di tengah arus kegilaan informasi terkait pandemi korona ini, penting rasanya untuk memiliki patokan-patokan informasi yang bisa menjadi acuan terpercaya. Dan ini menjadi waktu yang sebenarnya cukup tepat untuk mengambil jarak dari media sosial yang seringkali gaduh dan membuat Anda tertekan.
Ini juga menjadi momen yang tepat untuk mengasah insting Anda soal mana informasi yang hoax dan mana informasi yang valid. Ingat, tak semua informasi yang beredar di media sosial dan dibagikan ratusan kali oleh teman-teman Anda di Instagram atau Facebook adalah kebenaran.
Untuk menjamin kesehatan jiwa Anda pada momen ini, alangkah baiknya untuk tidak selalu membuka informasi apapun yang dibagikan di WhatsApp Group dan bahkan membagikannya ulang. Terkadang pura-pura tak melihat informasi yang belum tentu valid itu lebih baik bagi Anda. Pilih-pilih informasi berdasarkan sumber, harus dilakukan.
Ini juga menjadi saat yang baik untuk sedikit menjaga jarak dari kawan-kawan media sosial Anda yang mungkin secara tak sadar menyebarkan aura negatif di tengah pandemi ini. Kiriman-kiriman yang menakut-nakuti, politisasi penanganan pandemi, hingga teman yang tanpa sadar gemar menyebarkan hoax, ada baiknya bisa Anda mute untuk sementara.
Biarpun Anda bosan harus terkurung di rumah. Ini bukan menjadi alasan untuk terus-terusan berselancar di media sosial. Alokasikan waktu Anda dengan bijak antara media sosial dan juga pekerjaan, serta berkomunikasi dengan orang-orang terdekat Anda, apalagi jika Anda tinggal terpisah dengan mereka.
Di saat seperti ini, orang-orang terdekat lebih membutuhkan video call dari Anda ketimbang teman-teman di media sosial. Menanyakan kabar mereka setiap hari dan memastikan mereka dalam kondisi sehat lebih baik dilakukan.
Yang tak perlu Anda lakukan adalah membaca informasi terkait gejala virus saat Anda sehat. Kenapa? Tubuh Anda, akan merespons apa yang Anda baca menjadi sebuah reaksi psikosomatis. Saat sebenarnya Anda tak demam, bisa saja Anda tiba-tiba merasa kedinginan dan demam meskipun suhu tubuh normal. Kejadian ini banyak sekali terjadi.
Intinya, di masa-masa seperti ini, memilih dan memilah informasi, serta sedikit menjauh dari media sosial menjadi salah satu langkah penting. Anda punya otoritas atas itu dan berhak kritis atas beragam informasi yang Anda terima. (SUBKHAN J. HAKIM)