Hujan turun tak henti di Yogyakarta sejak siang hingga sepanjang malam Sabtu (16/11) akhir pekan lalu. Namun hujan itu tak mengusik rasa ingin tahu para pencinta seni rupa Indonesia yang datang dari berbagai kota, bahkan negara untuk melihat karya-karya dalam Biennale Jogja XII (BJXII) Equator #2 yang dibuka oleh Sultan Hamengku Buwono X di Jogja National Museum (JNM). Selain di JNM, ajang dua tahunan ini juga diselenggarakan di empat tempat lain yakni Taman Budaya Yogyakarta, Langgeng Art Foundation, SaRang Building, dan HONFablab.
Kali ini, sebanyak 35 seniman dari Indonesia dan lima negara di kawasan Arab yakni Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab dan Yaman ambil bagian dalam biennale yang diberi tajuk Not A Dead End. Sejak awal tahun ini, penyelenggara BJXII mengirimkan beberapa seniman Indonesia dan mengundang beberapa seniman Arab untuk melakukan residensi. Dari Indonesia, tiga seniman yang mengikuti residensi adalah Prilla Tania, Tintin Wulia yang dikirim ke Sharjah, dan Venzha Christiawan yang menjalani residensi di Mesir. Sementara Yogyakarta kedatangan dua seniman yakni Dina Danish dari Mesir, dan Ubik, seniman India yang menetap di Uni Emirat Arab yang menjalani residensi selama beberapa waktu.
Diselenggarakan mulai 16 November 2013 hingga 6 Januari mendatang, premis kuratorial dalam biennale kali ini mengambil inspirasi dari migrasi berbagai manusia dan benda yang telah berlangsung sepanjang sejarah perjumpaan Indonesia dan wilayah Arab. Dua kurator BJXII Agung Hujatnika Jennong dari Indonesia dan Sarah Rifky dari Mesir sama-sama sepakat bahwa baik di Indonesia dan negara-negara Arab itu terjadi aliran dan pertukaran modal yang mengubah cara pandang masyarakat tentang alam dan gagasan. Demikian pula akibatnya cara manusia menghadapi kenyataan yang berubah ditambah lagi kemampuan untuk berpindah tempat dengan lebih mudah tak pelak mengubah persepsi manusia atas banyak hal.
Seperti yang dikemukakan dua kurator tersebut pada saat sosialisasi BJXII awal tahun ini, pameran yang artsitiknya ditangani oleh Farah Wardani selaku Direktur Artistik ini tidak didorong sebuah tema melainkan dipengaruhi karya-karya yang membentuknya. Pameran kali ini dilaksanakan melalui jalur kolaborasi, pertukaran, dan perjumpaan atara para seniman, karya seni, dan gagasan-gagasan laiknya sebuah percakapan. Tak ada satu tema tertentu yang mendorongnya melainkan lebih menyerupai sebuah penjelajahan gagasan tentang tanah air, diaspora, tempat asing, migrasi, perjalanan, sirkulasi, keuangan, karya seni, pengalaman, dari garis-garis imajiner yang menghubungkan tempat melaluji ekonomi dan pengalaman buruh mighran hingga sirkulasi barang-barang.
Digelar pertama kali pada 1988, Biennale Jogja kini memasuki babak baru ketika pada
penyelenggaraannya yang ke-11 dilakukan penataan kembali organisasi dan manajemen yang diikuti pendirian yayasan yang dipercayakan pengelolaannya pada Neni Yustina sebagai direktur yayasan sehingga menjamin keberlanjutan Biennale Jogja sebagai salah satu ajang seni rupa yang memberi kontribusi penting bagi dinamika dunia seni rupa baik secara nasional, regional, maupun internasional. Rangkaian pembukaan BJXII sendiri berlangsung selama empat hari diisi pembukaan serentak di lima tempat penyelenggaraan, berbagai pertunjukan music, jamuan makan malam, dan tentu saja diskusi, bincang seniman, simposium dan berbagai parallel event di berbagai lokasi seni di seputaran Yogyakarta. (ISA), Foto: ISA
Kali ini, sebanyak 35 seniman dari Indonesia dan lima negara di kawasan Arab yakni Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab dan Yaman ambil bagian dalam biennale yang diberi tajuk Not A Dead End. Sejak awal tahun ini, penyelenggara BJXII mengirimkan beberapa seniman Indonesia dan mengundang beberapa seniman Arab untuk melakukan residensi. Dari Indonesia, tiga seniman yang mengikuti residensi adalah Prilla Tania, Tintin Wulia yang dikirim ke Sharjah, dan Venzha Christiawan yang menjalani residensi di Mesir. Sementara Yogyakarta kedatangan dua seniman yakni Dina Danish dari Mesir, dan Ubik, seniman India yang menetap di Uni Emirat Arab yang menjalani residensi selama beberapa waktu.
Diselenggarakan mulai 16 November 2013 hingga 6 Januari mendatang, premis kuratorial dalam biennale kali ini mengambil inspirasi dari migrasi berbagai manusia dan benda yang telah berlangsung sepanjang sejarah perjumpaan Indonesia dan wilayah Arab. Dua kurator BJXII Agung Hujatnika Jennong dari Indonesia dan Sarah Rifky dari Mesir sama-sama sepakat bahwa baik di Indonesia dan negara-negara Arab itu terjadi aliran dan pertukaran modal yang mengubah cara pandang masyarakat tentang alam dan gagasan. Demikian pula akibatnya cara manusia menghadapi kenyataan yang berubah ditambah lagi kemampuan untuk berpindah tempat dengan lebih mudah tak pelak mengubah persepsi manusia atas banyak hal.
Seperti yang dikemukakan dua kurator tersebut pada saat sosialisasi BJXII awal tahun ini, pameran yang artsitiknya ditangani oleh Farah Wardani selaku Direktur Artistik ini tidak didorong sebuah tema melainkan dipengaruhi karya-karya yang membentuknya. Pameran kali ini dilaksanakan melalui jalur kolaborasi, pertukaran, dan perjumpaan atara para seniman, karya seni, dan gagasan-gagasan laiknya sebuah percakapan. Tak ada satu tema tertentu yang mendorongnya melainkan lebih menyerupai sebuah penjelajahan gagasan tentang tanah air, diaspora, tempat asing, migrasi, perjalanan, sirkulasi, keuangan, karya seni, pengalaman, dari garis-garis imajiner yang menghubungkan tempat melaluji ekonomi dan pengalaman buruh mighran hingga sirkulasi barang-barang.
Digelar pertama kali pada 1988, Biennale Jogja kini memasuki babak baru ketika pada
penyelenggaraannya yang ke-11 dilakukan penataan kembali organisasi dan manajemen yang diikuti pendirian yayasan yang dipercayakan pengelolaannya pada Neni Yustina sebagai direktur yayasan sehingga menjamin keberlanjutan Biennale Jogja sebagai salah satu ajang seni rupa yang memberi kontribusi penting bagi dinamika dunia seni rupa baik secara nasional, regional, maupun internasional. Rangkaian pembukaan BJXII sendiri berlangsung selama empat hari diisi pembukaan serentak di lima tempat penyelenggaraan, berbagai pertunjukan music, jamuan makan malam, dan tentu saja diskusi, bincang seniman, simposium dan berbagai parallel event di berbagai lokasi seni di seputaran Yogyakarta. (ISA), Foto: ISA