Basri Menyapa edisi kelima mengangkat tema Disrupsi dan Oposisi, sebuah kondisi tertentu akibat dari penemuan teknologi digital yang berbeda sebagai sebuah strategi memaknai bentuk oposisi dengan era new normal.
Bersama Adi Panuntun seorang desainer sekaligus co-founder dan CEO PT Sembilan Matahari yang telah meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional serta proyek video mapping di berbagai tempat seperti Grand Prize Winner Projection Mapping Competition di Zushi Media Art Festival di Jepang, Art Vision Competition - Circle of Lights di Moscow, dan Berlin Light Festival 2017.
Karyanya dihasilkan dengan pendekatan baru, mengintegrasikan seni dan teknologi melalui pengalaman yang emosional melalui pendekatan lintas disiplin film dipadu kreatif. Hal itu mencakup kreasi audiovisual dan multimedia. Ia juga menggunakan latar trans-disiplin dari mulai perspektif fashion, arsitektur, film dan seni rupa bahkan teater atau seni pertunjukan sebagai realitas baru yang penuh kejutan.
Di ranah arsitektur, karya Adi Panuntun merespon fasad gedung arsitektur kuno dan modern dengan upaya “membuat baru” dengan skala raksasa. Menciptakan persepsi baru tentang skala, ruang dan struktur fisik memakai manipulasi cahaya dan piranti digital proyeksi. “Dibutuhkan pemilihan musik dan gambar yang lebih universal, serta konteks yang diambil dari fenomena yang sedang terjadi,” katanya lagi.
Tidak hanya video mapping arsitektur, dalam dunia fashion, karya Adi Panuntun merupakan satu elemen utama dalam membangun pagelaran busana. Seperti yang dilakukannya pada fashion show Biyan dengan karya bertajuk Constellation Neverland, karya ini dibuat lebih personal dan kontemplatif.
Sedangkan pada film ia membangun narasi, dengan bantuan proyeksi digital. Selain itu, ia membangun spasial berbeda dengan menciptakan dan memanipulasi ruang dan atsmosfir baru dengan sistem pencahayaan dalam desain interior.
Dalam diskusi daring ini, arsitek Budi Pradono juga memberikan komentarnya pada karya Adi Panuntun. “Dalam terminologi terbaru, public art, karya Adi Panuntun terhubung dengan penonton dan terakses oleh massa yang banyak berisi ingatan antara yang personal dan yang komunal,” katanya.
Ia juga melihat karya Adi dari kacamata disrupsi dan oposisi. “Gedung itu sifatnya statis, tapi dengan video mapping menyebabkan sesuatu yg dinamis. Pada awalnya itu disrupsi, nanti di masa depan akan jadi realitas. Sekarang kota yang hilang orangnya karena pandemi akan direspon teknologi yang akan dibutuhkan untuk menghidupkan area publik,” ujarnya. (WHY) Foto: Dok. Basri Menyapa