Di masa-masa sekolah dulu, DY Suharya benar-benar membiarkan hidupnya tersedot ke banyak aktifitas. “Sebagian orang terdistraksi oleh narkoba, sementara saya terdistraksi oleh macam-macam aktivitas”, ujarnya dengan gerak-gerik yang bugar dan mantap. DY anak bungsu dari lima bersaudara, kerap bersitegang dengan ibunya dalam urusan-urusan domestik, DY menghibur diri dan mencari kedamaian di luar rumah. Ia mengasikkan diri di kegiatan-kegiatan seperti fotografi, menjadi vokalis di grup band, dan membaca puisi. Pelarian diri dari suasana di rumah menghantarkan DY pada pengalaman yang berbeda-beda, ia pun sempat menjadi wartawan di Prambors Radio dan di RCTI. Pelarian DY semakin jauh, ia meninggalkan Indonesia, jauh dari keluarga. DY sempat mendapat pekerjaan di Lonely Planet di New York, kemudian di CNN di Washington DC, dan menjadi konsultan kesehatan di World Health Organization.
Sebenarnya DY Suharya kurang begitu memahami jika ternyata ibunya sedang menunjukkan gejala Alzheimer’s, neuro degenerative disease, yang diawali dengan mudah hilang ingatan dan perlahan fungsi-fungsi tubuh melemah. Keluarga sangat terkejut ketika di tahun 2009 sang ibu didiagnosa mengidap vascular dementia. “Saat berada di awal atau di tengah mengidap dementia adalah saat yang serba salah. Pengidap tidak tampak seperti orang sakit. Seperti ibu saya, dia sakit, tapi saya tidak tahu. Ternyata, semua hal yang membuat kami berdebat hebat setiap saat dulu, penyebabnya adalah saat itu volume otaknya mengecil. Dementia sungguh sangat membuat depresi, dan kalau ada hal yang tidak bisa disampaikan pengidap dengan kata-kata, maka mereka akan mengekspresikannya dengan kemarahan”, kenang DY.
Setelah 15 tahun merantau, DY Suharya kembali ke Indonesia (2012), dan tergerak untuk memulai gerakan peduli terhadap masalah ini. DY mendirikan Alzheimer’s Indonesia dan melahirkan gerakan komunitas untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyakit ini, ia pun membuat berbagai training dan dukungan untuk keluarga-keluarga yang menghadapi masalah yang sama. Organisasi ternyata berkembang pesat, mendapat dukungan pula dari Kementrian Kesehatan. Gubernur DKI Jakarta, Ahok, menyampaikan kata sambutan ketika Alzheimer’s Indonesia mengadakan perayaan World Alzheimer’s Day di depan ratusan orang yang memiliki kepedulian yang sama di lapangan Monas.
Organisasi yang dipimpin DY ini menyelenggarakn aneka pelatihan di sekolah-sekolah untuk kesadaran anak-anak tentang Alzheimer, bagaimana mendeteksi anggota keluarga dan melindungi anak-anak dari kemungkinan mengalami kebingungan dan trauma yang pernah DY alami. “Saya merasa kalau saya tidak membagikan ini, semua anak akan lari dari orangtua mereka. Ketika kita kecil, semua orang tua sangat sabar menjaga kita. Kenapa ketika tidak bisa melakukan hal yang sama kepada mereka saat mereka sudah menua?” pertanyaan yang sangat dalam menyentuh logika dan perasaan.
Saat ibu DY Suharya berusia 81 tahun dan memasuki tahap akhir Alzheimer, hubungan batin ia dan ibunya semakin kuat. DY sudah menjadi sumber tenaga dan penyemangat hidup sang ibu. “Saya tak terlalu banyak bicara, haya menyentuhnya dengan lembut. Ketika saya bilang I love you, dia terbiasa menjawabnya dengan I love you too. Saat ini dia hanya mengucapkan kata thank you. I lost her already. I miss her real remembrance of who I am. Eventually even the words will fade…” ujar DY dengan haru.
Langkah DY Suharya selanjutnya adalah bekerja dengan pemerintah untuk membuat Jakarta sebagai kota dementia-friendly, membuat berbagai training untuk para pengasuh dan rumah peduli untuk pengidap Alzheimer’s. “Dulu, saya tak pernah berpikir untuk kembali ke Indonesia karena saya tak mau lagi menghadapi konflik dengan ibu saya. Namun apa yang ia hadapi ternyata membuat seisi keluarga menjadi lebih dekat. Inilah gerakan yag menyentuh hati seisi keluarga”. (TV) Foto: Adel
Sebenarnya DY Suharya kurang begitu memahami jika ternyata ibunya sedang menunjukkan gejala Alzheimer’s, neuro degenerative disease, yang diawali dengan mudah hilang ingatan dan perlahan fungsi-fungsi tubuh melemah. Keluarga sangat terkejut ketika di tahun 2009 sang ibu didiagnosa mengidap vascular dementia. “Saat berada di awal atau di tengah mengidap dementia adalah saat yang serba salah. Pengidap tidak tampak seperti orang sakit. Seperti ibu saya, dia sakit, tapi saya tidak tahu. Ternyata, semua hal yang membuat kami berdebat hebat setiap saat dulu, penyebabnya adalah saat itu volume otaknya mengecil. Dementia sungguh sangat membuat depresi, dan kalau ada hal yang tidak bisa disampaikan pengidap dengan kata-kata, maka mereka akan mengekspresikannya dengan kemarahan”, kenang DY.
Setelah 15 tahun merantau, DY Suharya kembali ke Indonesia (2012), dan tergerak untuk memulai gerakan peduli terhadap masalah ini. DY mendirikan Alzheimer’s Indonesia dan melahirkan gerakan komunitas untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyakit ini, ia pun membuat berbagai training dan dukungan untuk keluarga-keluarga yang menghadapi masalah yang sama. Organisasi ternyata berkembang pesat, mendapat dukungan pula dari Kementrian Kesehatan. Gubernur DKI Jakarta, Ahok, menyampaikan kata sambutan ketika Alzheimer’s Indonesia mengadakan perayaan World Alzheimer’s Day di depan ratusan orang yang memiliki kepedulian yang sama di lapangan Monas.
Organisasi yang dipimpin DY ini menyelenggarakn aneka pelatihan di sekolah-sekolah untuk kesadaran anak-anak tentang Alzheimer, bagaimana mendeteksi anggota keluarga dan melindungi anak-anak dari kemungkinan mengalami kebingungan dan trauma yang pernah DY alami. “Saya merasa kalau saya tidak membagikan ini, semua anak akan lari dari orangtua mereka. Ketika kita kecil, semua orang tua sangat sabar menjaga kita. Kenapa ketika tidak bisa melakukan hal yang sama kepada mereka saat mereka sudah menua?” pertanyaan yang sangat dalam menyentuh logika dan perasaan.
Saat ibu DY Suharya berusia 81 tahun dan memasuki tahap akhir Alzheimer, hubungan batin ia dan ibunya semakin kuat. DY sudah menjadi sumber tenaga dan penyemangat hidup sang ibu. “Saya tak terlalu banyak bicara, haya menyentuhnya dengan lembut. Ketika saya bilang I love you, dia terbiasa menjawabnya dengan I love you too. Saat ini dia hanya mengucapkan kata thank you. I lost her already. I miss her real remembrance of who I am. Eventually even the words will fade…” ujar DY dengan haru.
Langkah DY Suharya selanjutnya adalah bekerja dengan pemerintah untuk membuat Jakarta sebagai kota dementia-friendly, membuat berbagai training untuk para pengasuh dan rumah peduli untuk pengidap Alzheimer’s. “Dulu, saya tak pernah berpikir untuk kembali ke Indonesia karena saya tak mau lagi menghadapi konflik dengan ibu saya. Namun apa yang ia hadapi ternyata membuat seisi keluarga menjadi lebih dekat. Inilah gerakan yag menyentuh hati seisi keluarga”. (TV) Foto: Adel
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta