5 Filosofi Budaya Asmat di Pameran Asamanam
Melalui rangkaian instalasi, pengunjung diajak menelusuri perjalanan simbolis budaya Asmat, dari kelahiran hingga kematian, dan hubungannya dengan leluhur.
20 Sep 2024


 
Berikut ini beberapa karya yang hadir dalam pameran tersebut. Beragam bentuk karya ini merupakan perwujudan nilai-nilai budaya Asmat yang mengusung keseimbangan diri dengan sesama makhluk, leluhur, serta alam dan Sang Pencipta.
 
Termotivasi oleh gagasan itulah, sebuah pameran budaya Asmat bertajuk “Asamanam” digelar oleh Yayasan Widya Cahya Nusantara, Uma Nusantara, Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat dan Tirto Utomo Foundation. Pameran ini tak hanya bertujuan untuk mengenalkan budaya Asmat lebih luas, melainkan juga untuk menegaskan bahwa budaya Asmat adalah bagian dari budaya Indonesia yang perlu kita banggakan dan lestarikan.
 

Karya seni Asmat telah diakui dan dipamerkan di berbagai museum dan pameran internasional, seperti di Amerika Utara, Italia, dan Vatikan, di mana karya-karya tersebut dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Namun, sebagai pemilik warisan ini, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga, melestarikan, dan memperkenalkan budaya Asmat kepada dunia.

1. Patung asmat

Masyarakat Asmat menjaga relasi dengan para roh leluhur membuat berbagai ritual yang melibatkan ukiran patung-patung. Mereka percaya bahwa patung-patung ukiran merupakan sebuah media sekaligus subyek roh agar mereka dapat berkomunikasi dengan para leluhur, demi terciptanya kehidupan yang makmur dan damai.
 
Pada ritual Patung Bis (patung leluhur), misalnya, masyarakat Suku Asmat mengukir patung lalu menamainya dengan nama legenda atau panglima perang yang telah gugur. Di akhir ritual, mereka akan menancapkan patung ini ke hutan sagu. Mereka percaya, praktik ini tak hanya dapat memberikan ketenangan bagi roh leluhur, tetapi juga membawa kesuburan bagi tanah tempat ditancapkannya patung sakral ini.
 

2. Selasar Befak

Terinspirasi dari bentuk rumah befak, instalasi ini terpasang di pameran sebagai sebuah Lorong yang akan mengantar pengunjungnya menuju ruang pamer lainnya. Rumah befak sendiri merupakan rumah singgah masyarakat Asmat ketika sedang mencari makan di pinggiran sungai maupun berburu di hutan yang jauh dari tempat mereka tinggal.
 
Umumnya, proses berburu memakan waktu selama beberapa minggu untuk memangkur sagur, mengambil ulat sagu, berburu binatang liar, dan mencari ikan serta udang di sungai. Setelah selesai mencari bahan makanan, mereka kembali rumah mereka di desa tempat mereka tinggal.
 

3. Rumah Jew


Setiap desa di Suku Asmat pada umumnya memiliki satu rumah Jew di desanya. Rumah adat Suku Asmat ini disebut juga sebagai “rumah bujang” karena ditinggali oleh kaum lelaki Asmat yang belum menikah. Meski demikian, fungsi bangunan ini kurang lebih sebagai balai desa: tempat berkumpulnya para pemimpin adat dan kepala desa.
 
Atap bangunan ini dibuat dari daun nipah dan daun sagu, dengan dinding dari anyaman daun sagu, dan pondasi dari kayu besi yang kuat dan tahan air, cocok untuk daerah rawa dan pesisir laut. Mereka percaya bahwa leluhur dan alam bekerjasama menyediakan semua material yang dibutukan untuk membangun rumah adat ini.
 

4. Lorong Kehidupan


Di sub suku Keenok (Asmat), terdapat tradisi unik yang sarat makna. Tiap ibu yang akan melahirkan, dibuatkan sebuah pondok khusus yang disebut Jom Cem. Pondok ini, yang terpisah dari rumah induk, menjadi tempat persalinan yang sakral. Jom Cem sendiri melambangkan kelahiran baru sang anak, yang diharapkan membawa sifat-sifat baik leluhur sebagai bekal hidup dan sekaligus menjadi pengikut Kristus yang setia.
 
Terinspirasi dari Jom Cem, sebuah instalasi seni hadir dengan bentuk menyerupai lorong.  Bentuk ini mengajak kita untuk menunduk saat melewatinya, sebagai tanda hormat, layaknya seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.
 

5. Asamanam


Menjadi benang merah dari keseluruhan pameran, konsep Asamanam atau keseimbangan adalah pandangan hidup orang Asmat dalam menjaga dan merawat hubungan dalam kehidupan dengan sesama, leluhur, alam dan Sang Pencipta. Orang Asmat percaya kehidupan akan berjalan dengan baik dan bisa mencapai harmoni jika manusia menjaga dan merawat keseimbangan hubungan-hubungan tersebut.
 
Dalam keseharian, kata asamanam banyak digunakan sebagai pedoman seorang pendayung agar tidak lupa untuk “melihat ke belakang untuk berjalan ke depan” guna menyeimbangkan diri ketika berdiri di atas perahu. Kearifan filosofi ini menjadi penting dalam konteks kehidupan saat ini yang diwarnai oleh berbagai isu global, seperti krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan konflik, yang banyak bertumpu pada relasi-relasi yang ada dalam dunia kita, termasuk dengan relasi non-manusia.
 
***
 
Pameran Asamanam berlangsung pada 6–16 September 2024 lalu di kantor Han Awal & Partners yang berlokasi di Tangerang, Banten. Berbagai instalasi ini membawa pengunjung ke dalam perjalanan simbolis memahami Asmat, dimulai dari kelahiran hingga kematian, serta hubungan dengan leluhur. Narasi visual yang disuguhkan oleh seniman Asmat ini mengajak pengunjung untuk menyelami makna keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Asmat. (MAR)
 
Foto: dok. DEWI, Uma Nusantara

 

 


Topic

Culture

Author

DEWI INDONESIA