Setelah sempat mematikan bara apinya selama beberapa bulan karena pandemi dan pembatasan sosial, pada pertengahan Desember 2020 ini akhirnya Nusantara kembali dibuka.
Namun beberapa bulan absen itu bukan berarti libur bagi Chef Putu dan timnya di Nusantara. Bersama Chef Eelke dan Chef Ray dari Locavore, mereka berkeliling ke kota-kota lain seperti Jakarta dan Surabaya untuk menyelenggarakan acara pop-up. Saat Jakarta memasuki PSBB jilid II pada September lalu, tim Nusantara tidak menyerah dan mengubah konsep dine in yang sudah direncanakan sebelumnya, menjadi take out dalam bentuk Rantangan yang menuai sukses.
“Adik” dari Locavore Ubud yang eksis sejak pertengahan tahun 2017 ini, sesuai namanya, menyajikan beragam masakan Indonesia otentik dari penjuru Nusantara—Sabang sampai Merauke. Menggunakan bahan-bahan segar dan sesuai musim, serta selalu menggali resep-resep masakan tradisional yang tidak terlalu mainstream atau kurang dikenal masyarakat umum, menjadikan menu di Nusantara selalu berkembang dan menawarkan rasa yang baru.
Konsep ini membuat tamu-tamu reguler (seperti saya, yang selalu menyempatan diri mampir ke Nusantara dan Locavore setiap saya berlibur ke Ubud) tidak pernah merasa bosan dan selalu excited saat bersantap di Nusantara.
Pembukaan kembali Nusantara di penghujung tahun 2020 ini tentu diiringi dengan menu baru. Di samping hidangan andalan yang kerap muncul di menu sebelumnya seperti Jukut Kelor Mesanten, yaitu daun kelor bumbu Bali yang dimasak dan disajikan dalam kelapa muda; hidangan baru yang disajikan kali ini meliputi Naniura, yakni potongan ikan mentah yang dibumbui andaliman, cabai, kunyit, dan perasan keruk nipis khas Toba, Sumatera Utara, serta Keong Sawah dari Payangan, Bali, yaitu keong yang dimasak dengan bumbu bawang merah, kemiri, daun jeruk, dan kecap.
Di luar menu a la carte, sebuah set menu juga diciptakan oleh chef Putu, bernama “Taste the Forgotten Craft” yang terinspirasi dari sejarah etnokuliner Indonesia. Set menu ini terdiri dari 5 macam hidangan lauk utama, 2 macam sambal, nasi daun jeruk, serta satu hidangan penutup. Disajikan dalam gaya keluarga atau makan tengah, dan dihargai Rp295.000++ per kepala.
Beberapa hidangan yang menjadi highlight bagi saya di antaranya Naniura yang bercita rasa asam segar, Sate Rembiga (Lombok) yang potongan daging sapinya sangat empuk, Celeng Gesing (Bali) yang dibakar dan disajikan dalam batang bambu, serta hidangan penutup kue Bika Gula Merah yang tidak terlalu manis, bertekstur lembut, dan sangat menggoda dengan wangi karamelnya.
Satu hal yang selalu saya tunggu-tunggu saat berkunjung ke Nusantara adalah set hidangan pembukanya atau yang disebut Nusantara Snack Wheel, yang terdiri dari piring-piring kecil berisi bite-sized appetizers. Kali ini, isinya diperkaya dengan beberapa kudapan baru seperti acar nanas, ketan bakar, tahu walik, perkedel labu, rujak bengkoang, tempe bacem, terong sambal matah, roti jala, dan keripik bayam. Setiap tamu akan diberikan kartu petunjuk dengan angka atau urutan cara menikmati kudapan.
Nusantara Snack Wheel ini paling tepat dinikmati dengan segelas koktail. Meski menu koktail di Nusantara tidak banyak, namun semuanya menurut saya sangat berkesan. Favorit saya yang selalu saya pesan adalah Holy Water—segar, harum, dan ringan dengan campuran daun kemangi, bunga sandat, dan Roku gin (I am a gin girl afterall).
Asap dari wood-fire oven yang menyambut setiap tamu di depan pintu masuk Nusantara kembali mengepul, siap merajut rasa dari Sabang sampai Merauke bagi para tamu. It felt so good to be able to taste their amazing dishes again—and I look forward to come back for more culinary surprises and discoveries. (MARGARETHA UNTORO) Foto: Dok. Nusantara