Defect dan risiko barang palsu
Sisi lain thrifting yang perlu dipertimbangkan yakni adanya defect atau kerusakan, serta risiko barang palsu. Untuk perkara defect sebaiknya dipastikan pada penjual dulu jika Anda melakukan thrifting secara online, apalagi jika deskripsi barang tidak menyebut adanya defect sama sekali. Sementara soal risiko barang palsu, ada baiknya Anda sudah mengenal dengan baik ciri khas brand incaran Anda hingga ke detail kecil yang menandai keasliannya. Membeli setelah melihat dan memegangnya secara langsung juga disarankan, mengingat foto yang diiklankan penjual—apalagi yang tidak terpercaya—bisa berbeda dengan barang yang dikirimkan.Risiko penipuan
Selain berisiko membeli barang palsu, risiko penipuan pun juga membayangi cara belanja satu ini. Apalagi jika thrifting dilakukan secara online lewat media sosial atau di luar sistem marketplace yang biasanya memberikan jaminan pengembalian dana. Banyak orang tak bertanggung jawab yang tak benar-benar menjual baju atau aksesori branded, sementara penggemar thrifting yang sudah tak sabar pun menjadi tak hati-hati dan jadi korban penipuan. Pastikan untuk thrifting hanya di tempat terpercaya, baik dari segi kualitas maupun profesionalitas.Isu kelas
Meski kelihatannya sepele, tren thrifting yang digemari oleh berbagai kalangan ini pun menuai kritik. Ada anggapan bahwa pemilik modal—yang memiliki kemampuan memborong barang bekas lalu menjualnya kembali dengan harga lebih mahal—dinilai tidak etis. Tentu harga yang lebih mahal ini diimbangi dengan variasi pakaian dan aksesori yang lebih terkurasi, sehingga konsumen pakaian bekas pakai ini bisa mendapatkan barang dalam kondisi yang benar-benar layak pakai serta dalam kondisi bersih. Meski demikian, di era digital yang serba ada ini, pada akhirnya pilihan kembali lagi ke tangan konsumen: memilih harga terjangkau tapi harus hunting sendiri di thrift market favorit, atau ‘terima jadi’ saja dengan thrifting di platform digital terpercaya dengan harga lebih mahal? (UP) Foto: Unsplash