Mel Ahyar selalu mempunyai sentuhan yang tak terduga. Ia menyebutnya “twisted beauty” dan mengajak khalayaknya untuk merayakan itu, termasuk keunikan dalam individu yang mengenakan busananya. Dengan demikian menurut Mel, suatu karya menjadi limitless. Semangat itulah yang menjadi salah satu alasan Dewi menobatkan Mel Ahyar sebagai salah satu dari Dewi Fashion Knights 2019.
Hasrat akan kebebasan ekspresi dan eksplorasi itu membuat Mel termasuk salah satu desainer yang berani menerabas berbagai aturan dan bereksperimen dengan volume, material, hingga permainan detail dan garis desain.
Prinsip-prinsip itu ia terapkan pula dalam menggarap koleksi untuk peragaan DFK 2019. Sejalan dengan tema “Borderless” yang diusung DFK 2019, Mel terinspirasi dengan konsep “skins” atau lapis individu.
Menurutnya, konektivitas yang semakin tinggi—terutama lewat media sosial—membuat batasan-batasan kian kabur. “Yang pertama itu dalam hal akses, Anda tidak bisa memilih siapa yang bisa mengakses konten media sosial Anda,” jelas Mel.
Selain itu, menurut Mel tampilan media sosial tiap individu menjadi lapisan diri mereka yang lain, yang dinilai oleh publik. Media sosial memang kerap membuat orang menciptakan dua persona yang berbeda, dua lapis individu, dua skins. Namun, sering kali masyarakat tersesat dalam persona-persona yang mereka citrakan sendiri dan memunculkan kegelisahan tentang mana diri yang sebenarnya.
Batas-batas itu pun menjadi rancu bagi orang yang sekadar melihat dari luar. “Saking tipisnya batasan itu, kadang kita sampai berpikir bahwa kehidupan nyata si A itu sama persis dengan kehidupannya di media sosial,” jelas Mel.
Itulah yang menjadi premis utama Mel untuk koleksinya ini. Ia berniat meyoroti tiap-tiap karakter individu yang kerap kita proyeksikan di dunia maya. Entah itu yang rendah hati, bijaksana, vokal, dan sebagainya. Lebih dari itu, lewat koleksinya ini pun ia hendak mendorong kita untuk lebih jujur dengan merayakan keunikan diri alih-alih mencitrakan persona yang sama sekali berbeda.
Keunikan individu ini betul-betul ia rayakan dalam peragaan Dewi Fashion Knights 2019 ini. Lihat saja karakter make-up para model. Jika biasanya peragaan busana memiliki satu gaya make-up dan tatanan rambut untuk para modelnya, Mel memastikan tiap-tiap model menampilkan gaya yang berbeda. Tidak cuma dalam hal pakaian dan tata rias, tetapi hingga attitude dalam membawakannya.
Dari segi teknis pembuatan, Mel menyatakan komitmennya untuk mengedepankan proses produksi yang berkelanjutan. Salah satu caranya adalah mengusahakan untuk tidak menghasilkan sampah. “Polanya dibuat sedemikian rupa supaya no waste dan kalau pun masih ada sisanya, kami gunakan itu untuk membuat bagian detail,” tergas Mel.
Tak hanya memastikan sampah yang dihasilkannya seminim mungkin, ia juga menggunakan material sisa dari sesama rekan desainernya untuk membuat detail pakain. Salah satunya adalah mika bekas brand BYO milik Tommy Ambiyo yang Mel daur ulang menjadi detail dalam koleksinya.
Ia juga menghadirkan "skins " secara literal. Namun, ia memperkenalkan teknik baru dengan menggandeng produsen kain yang terbuat dari jamur Milea di Bandung untuk membuat material kulit. Jamur tersebut melalui beberapa proses pengolahan sampai bentuk akhirnya menyerupai kulit sapi atau kambing.
Secara keseluruhan Mel berhasil memberikan koleksi yang meninggalkan banyak kesan. Tak sekadar menampakkan kecantikan yang unik, koleksi Mel ini menghadirkan substansi yang amat relevan dengan situasi dunia saat ini. Sarat consciousness dan conscience. (SIR). Foto: GCM Group.
Hasrat akan kebebasan ekspresi dan eksplorasi itu membuat Mel termasuk salah satu desainer yang berani menerabas berbagai aturan dan bereksperimen dengan volume, material, hingga permainan detail dan garis desain.
Prinsip-prinsip itu ia terapkan pula dalam menggarap koleksi untuk peragaan DFK 2019. Sejalan dengan tema “Borderless” yang diusung DFK 2019, Mel terinspirasi dengan konsep “skins” atau lapis individu.
Menurutnya, konektivitas yang semakin tinggi—terutama lewat media sosial—membuat batasan-batasan kian kabur. “Yang pertama itu dalam hal akses, Anda tidak bisa memilih siapa yang bisa mengakses konten media sosial Anda,” jelas Mel.
Selain itu, menurut Mel tampilan media sosial tiap individu menjadi lapisan diri mereka yang lain, yang dinilai oleh publik. Media sosial memang kerap membuat orang menciptakan dua persona yang berbeda, dua lapis individu, dua skins. Namun, sering kali masyarakat tersesat dalam persona-persona yang mereka citrakan sendiri dan memunculkan kegelisahan tentang mana diri yang sebenarnya.
Batas-batas itu pun menjadi rancu bagi orang yang sekadar melihat dari luar. “Saking tipisnya batasan itu, kadang kita sampai berpikir bahwa kehidupan nyata si A itu sama persis dengan kehidupannya di media sosial,” jelas Mel.
Itulah yang menjadi premis utama Mel untuk koleksinya ini. Ia berniat meyoroti tiap-tiap karakter individu yang kerap kita proyeksikan di dunia maya. Entah itu yang rendah hati, bijaksana, vokal, dan sebagainya. Lebih dari itu, lewat koleksinya ini pun ia hendak mendorong kita untuk lebih jujur dengan merayakan keunikan diri alih-alih mencitrakan persona yang sama sekali berbeda.
Keunikan individu ini betul-betul ia rayakan dalam peragaan Dewi Fashion Knights 2019 ini. Lihat saja karakter make-up para model. Jika biasanya peragaan busana memiliki satu gaya make-up dan tatanan rambut untuk para modelnya, Mel memastikan tiap-tiap model menampilkan gaya yang berbeda. Tidak cuma dalam hal pakaian dan tata rias, tetapi hingga attitude dalam membawakannya.
Dari segi teknis pembuatan, Mel menyatakan komitmennya untuk mengedepankan proses produksi yang berkelanjutan. Salah satu caranya adalah mengusahakan untuk tidak menghasilkan sampah. “Polanya dibuat sedemikian rupa supaya no waste dan kalau pun masih ada sisanya, kami gunakan itu untuk membuat bagian detail,” tergas Mel.
Tak hanya memastikan sampah yang dihasilkannya seminim mungkin, ia juga menggunakan material sisa dari sesama rekan desainernya untuk membuat detail pakain. Salah satunya adalah mika bekas brand BYO milik Tommy Ambiyo yang Mel daur ulang menjadi detail dalam koleksinya.
Ia juga menghadirkan "skins " secara literal. Namun, ia memperkenalkan teknik baru dengan menggandeng produsen kain yang terbuat dari jamur Milea di Bandung untuk membuat material kulit. Jamur tersebut melalui beberapa proses pengolahan sampai bentuk akhirnya menyerupai kulit sapi atau kambing.
Secara keseluruhan Mel berhasil memberikan koleksi yang meninggalkan banyak kesan. Tak sekadar menampakkan kecantikan yang unik, koleksi Mel ini menghadirkan substansi yang amat relevan dengan situasi dunia saat ini. Sarat consciousness dan conscience. (SIR). Foto: GCM Group.