Pada tahun penyelenggaraan ke-12, DFK 2019 mengusung tema “Borderless” untuk menjadi benang merah rangkaian empat perancang busana kenamaan Indonesia. Editor in Chief Dewi Magazine, Margaretha Untoro menjelaskan tema ini dipilih untuk menyoroti dunia modern yang tanpa batas.
“Tema ini menggambarkan dunia tanpa batasan atau stigma, bagaimana semua melebur jadi satu. Kita bisa lihat melalui teknologi yang telah meruntuhkan beragam batasan. Begitu pula dengan konsep gender yang menjadi cair dan tak bisa lagi dikotak-kotakkan,” jelas Margaretha.
Ada empat desainer kawakan Indonesia yang dikurasi Dewi untuk memeragakan koleksi busana terbaru mereka di DFK 2019. Keempatnya telah lama menghiasi panggung mode Tanah Air dengan karya-karya yang apik. Ada Auguste Soesastro yang punya signifikansi dalam memperkaya vokabuler busana Indonesia melalui adaptasi siluet pakaian tradisional di kancah mode Indonesia. Ia dikenal memberikan nafas modern pada bentuk pakaian tradisi Indonesia tanpa mengurangi nilai aslinya.
Menurutnya batas-batas dunia yang kian saru kini membuat ia lebih bebas dalam mengeksplorasi berbagai elemen dan materi yang belum pernah ia coba. “Untuk itu, saya akan menampilkan banyak elemen sportswear yang terinspirasi dari active wear dan classic sports,” papar Auguste.
Peleburan berbagai unsur juga dilakoni Jeffry Tan dalam merancang koleksi terbarunya untuk DFK 2019. Dua sisi yang berlawanan ia padukan menjadi satu tampilan. Elemen-elemen feminin dan maskulin, bagian-bagian structured dan fluid, pola geometris dan spiral, serta material kain tenun dengan bahan industri ia padukan dengan mempertahankan karakter kreasinya yang dengan jahitan-jahitan rapi dan tegas. “Sehingga lahirlah tampilan untuk perempuan urban yang modern dan dinamis,” kata Jeffry.
Tak Hanya itu, Jeffry juga memberanikan diri mengeksplorasi hal-hal di luar zona nyamannya. Misalnya lewat rangkaian aksesori dan penggunaan pola celana serta lengan yang belum pernah ia jajal sebelumnya.
Sementara itu Mel Ahyar mengambil jalan yang lebih personal dalam menggarap koleksi terbarunya untuk DFK 2019. Ketidaksempurnaan dan keunikan individu adalah dua hal yang menjadi ruh koleksinya ini sembari mengambil unsur budaya populer, terutama situasi media sosial sebagai inspirasinya. “Saya bercerita tentang media sosial dan kesehatan mental dan karakter dalam koleksi ini menjabarkan karakter-karakter yang ada di media sosial,” jelas Mel.
Dalam proses ini Mel juga sebisa mungkin membuat koleksi yang berkelanjutan. Salah satunya ia lakukan dengan meminimalisasi sampah tekstil dari pembuatan koleksi ini, bahkan mengambil beberapa sampah tekstil dari tempat lain untuk diolah dalam koleksi ini. Untuk itu, polanya ia buat sedemikian rupa untuk menghasilkan sesedikit mungkin sisa. Jika masih bisa, sisa bahannya akan tetap ia gunakan untuk membuat detail-detail pakaian.
Terakhir, ada Adrian Gan yang menampilkan sisi kreativitasnya yang lain. Kali ini ia menjadikan kain ulos Batak yang sudah dipakai sebagai menu utama koleksinya. Kain-kain tradisional itu lalu ia hadirkan dalam rancangan yang lebih relevan dengan paduan beberapa unsur pengolahan material yang kompleks dan detail lain.
Adrian memang telah lama mempunyai kecintaan terhadap kain tradisional Indonesia. Sebabnya adalah kekayaan motif dan makna di balik kain-kain tradisional tersebut. “Koleksi ini adalah sebuah bentuk dari apa yang selama ini ingin saya buat, tetapi belum pernah ditunjukkan,” katanya.
Sejak pertama kali digelar pada 2008, DFK memang dibuat untuk merayakan talenta-talenta mode Tanah Air dan membuka ruang eksplorasi kreatif bagi para desainer terpilih. Nantikan karya keempat desainer Indonesia ini di atas panggung DFK 2019 akhir Oktober mendatang di Senayan City. (SIR). Foto: Fransisca Angela Team for Dewi.