AS Laksana, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, berbagi tentang kekuatan cerita dan dampaknya.
Lima buku yang paling Anda sukai?
Seratus Tahun Kesunyian-Gabriel Garcia Marquez, Dataran Tortilla-John Steinbeck, Prajurit Schweik-Jaroslav Hasek, Lelaki Tua dan Laut-Ernest Hemingway, dan Toto Chan-Tetsuko Kuroyanagi
Apa kriteria buku atau cerita yang baik menurut Anda?
Tiap cerita yang baik punya daya menghanyutkan, karena orang memahami cerita itu melalui pengalamannya sendiri dan hal itulah yang membuat sebuah cerita terasa begitu dekat. Ketika kita membaca cerita, sebenarnya tidak ada dorongan dalam diri kita untuk mengingatnya. Tapi cerita yang kuat itu akan melekat dengan sendirinya. Hipnosis dan menulis mempunyai medium yang sama, yaitu kata-kata. Penulis yang baik adalah hipnotis.
Di mana letak kekuatan suatu cerita?
Kekuatan cerita bukan pada khotbah atau efek tertentu yang diinginkan penulisnya, tapi bagaimana ia menyusup ke benak orang dan memperbarui maknanya terus-menerus, melewati ruang dan waktu penciptaan. Cerita sebenarnya suatu metafor. Misalnya, novel Cervantes, Don Quixote. Orang hari ini menjuluki pahlawan kesiangan dengan sebutan Don Quixote. Di Indonesia dilafalkan, Don Kisot. Atau cerita-cerita Shakespeare, yang tidak pernah jadi usang. Tiap metafor yang baik selalu mampu melepaskan diri dari keterikatannya terhadap waktu dan ruang.
Kata-kata Kahlil Gibran, “anakmu, bukan anakmu” itu dampaknya luar biasa pada saya yang masih anak muda ketika itu. Saya ikut demonstrasi mahasiswa dan rasanya mendapat pembenaran untuk melawan orangtua melalui kalimat tersebut. Sekarang, di saat saya sudah menjadi orangtua dan melihat anak-anak saya tumbuh, kalimat “anakmu, bukan anakmu” itu saya tafsirkan berbeda lagi.
Bagaimana membuat cerita yang baik?
Cerita yang baik mampu membuat pembaca mengoperasikan lima inderanya. Ketika lima indera dilibatkan, maka pembaca bisa merasakan tokohnya hadir di dunia nyata. Atau ketika lebih dari dua indera kita dilibatkan dalam membuat sebuah deskripsi, maka pembaca bisa merasakan hadir di situ. Misalnya, di pantai. Atau situasi apa pun. Biasanya orang memang mengomentari cerita dari fokus mereka masing-masing, tapi cerita yang baik seperti berlian, dipandang dari mana pun bagus. Mungkin kita tidak setuju idenya, tapi penyampaiannya menarik.
Gabriel Garcia Marquez pernah berkata kurang lebih begini. Kalau kamu menceritakan ada seekor gajah terbang di langit, orang tak akan percaya. Tapi kalau kamu mengatakan bahwa ada 450 gajah terbang di langit, orang percaya. Angka yang akurat dalam sebuah cerita akan meyakinkan orang atau pembaca, seakan itu nyata. (LC) Foto: Dok. Dewi
Lima buku yang paling Anda sukai?
Seratus Tahun Kesunyian-Gabriel Garcia Marquez, Dataran Tortilla-John Steinbeck, Prajurit Schweik-Jaroslav Hasek, Lelaki Tua dan Laut-Ernest Hemingway, dan Toto Chan-Tetsuko Kuroyanagi
Apa kriteria buku atau cerita yang baik menurut Anda?
Tiap cerita yang baik punya daya menghanyutkan, karena orang memahami cerita itu melalui pengalamannya sendiri dan hal itulah yang membuat sebuah cerita terasa begitu dekat. Ketika kita membaca cerita, sebenarnya tidak ada dorongan dalam diri kita untuk mengingatnya. Tapi cerita yang kuat itu akan melekat dengan sendirinya. Hipnosis dan menulis mempunyai medium yang sama, yaitu kata-kata. Penulis yang baik adalah hipnotis.
Di mana letak kekuatan suatu cerita?
Kekuatan cerita bukan pada khotbah atau efek tertentu yang diinginkan penulisnya, tapi bagaimana ia menyusup ke benak orang dan memperbarui maknanya terus-menerus, melewati ruang dan waktu penciptaan. Cerita sebenarnya suatu metafor. Misalnya, novel Cervantes, Don Quixote. Orang hari ini menjuluki pahlawan kesiangan dengan sebutan Don Quixote. Di Indonesia dilafalkan, Don Kisot. Atau cerita-cerita Shakespeare, yang tidak pernah jadi usang. Tiap metafor yang baik selalu mampu melepaskan diri dari keterikatannya terhadap waktu dan ruang.
Kata-kata Kahlil Gibran, “anakmu, bukan anakmu” itu dampaknya luar biasa pada saya yang masih anak muda ketika itu. Saya ikut demonstrasi mahasiswa dan rasanya mendapat pembenaran untuk melawan orangtua melalui kalimat tersebut. Sekarang, di saat saya sudah menjadi orangtua dan melihat anak-anak saya tumbuh, kalimat “anakmu, bukan anakmu” itu saya tafsirkan berbeda lagi.
Bagaimana membuat cerita yang baik?
Cerita yang baik mampu membuat pembaca mengoperasikan lima inderanya. Ketika lima indera dilibatkan, maka pembaca bisa merasakan tokohnya hadir di dunia nyata. Atau ketika lebih dari dua indera kita dilibatkan dalam membuat sebuah deskripsi, maka pembaca bisa merasakan hadir di situ. Misalnya, di pantai. Atau situasi apa pun. Biasanya orang memang mengomentari cerita dari fokus mereka masing-masing, tapi cerita yang baik seperti berlian, dipandang dari mana pun bagus. Mungkin kita tidak setuju idenya, tapi penyampaiannya menarik.
Gabriel Garcia Marquez pernah berkata kurang lebih begini. Kalau kamu menceritakan ada seekor gajah terbang di langit, orang tak akan percaya. Tapi kalau kamu mengatakan bahwa ada 450 gajah terbang di langit, orang percaya. Angka yang akurat dalam sebuah cerita akan meyakinkan orang atau pembaca, seakan itu nyata. (LC) Foto: Dok. Dewi