Hari di mana berbagai kelompok merayakan keleluasaan mereka menikmati area kota yang biasanya tersita sebagai lahan parkir itu dinamai PARK(ing) Day. Kelompok-kelompok yang mengadakan PARK(ing) Day ini akan mengokupasi lahan-lahan parkir dan menyulapnya menjadi taman hijau di mana para pendukung yang terdiri dari masyarakat umum, seniman, juga aktivis tata kota dan lingkungan menggelar kegiatan yang lazim digelar di sebuah taman, mulai sekadar berbincang, piknik dengan membawa aneka bekal, hingga mengadakan pertunjukan musik.
Gerakan yang dimulai pada 2005 ini digagas oleh sebuah studio interdisipliner bernama Rebar yang berada di San Francisco, Amerika Serikat. Para penggagasnya ingin meningkatkan kembali kualitas ruang publik kota yang kondusif bagi warganya dan kesempatan untuk mengingatkan kembali pengelola kota bahwa ruang publik galibnya adalah fasilitas bersama yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Terlebih jika di kota tersebut ruang publik seperti taman atau trotoar yang semestinya digunakan oleh masyarakat untuk bermain dan berjalan dengan aman telah banyak beralih fungsi menjadi tempat berjualan atau lahan parkir seperti yang biasa kita lihat di Jakarta dan kota-kota lain baik di Indonesia mau pun di negara lainnya. Di Indonesia sendiri, PARK(ing) Day mulai diadaptasi menjadi ritual tahunan para aktivis lingkungan dan tata kota yang tersebar dalam berbagai kelompok dan komunitas sejak 2011.
Tahun 2013 ini, PARK(ing) Day secara serempak digelar di seluruh dunia pada Jumat, 20 September. Di Jakarta, perayaannya dilakukan antara lain oleh Komunitas Ruang Publik Jakarta bekerjasama dengan SIG Architect and Urbandesigner yang juga di dukung oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) di depan Kafe 2 Nyonya di Cikini. Ketersediaan ruang untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas publik secara setara tanpa batasan kelas sosial menurut Stevanus Ayal, salah satu inisiator Komunitas Ruang Publik Jakarta, merupakan salah satu indikator sehat tidaknya sebuah kota. “Kebanyakan masyarakat kota besar seperti Jakarta justru membangun batasan dan sekat itu. People make spaces,” katanya.
Batasan itu yang coba diurai lewat PARK(ing) Day yang setiap tahun menunjukkan peningkatan keterlibatan lebih banyak anggota masyarakat. “Kota yang layak huni itu sebenarnya adalah kota di mana setiap warganya dapat hidup secara sehat dan nyaman, mudah melakukan mobilitas dengan moda transportasi apapun, baik dengan kendaraan umum, bersepeda, bahkan berjalan kaki. Selain itu, kota layak huni juga seharusnya tak hanya atraktif dan aman bagi anak-anak serta manula, tapi juga menyediakan mereka akses yang mudah menuju ruang terbuka hijau di mana mereka bisa berkumpul dan beraktivitas,” ujar Sigit Kusumawijaya, principal architect dari SIG Architect and Urbandesiger mengatakan.
Pengembalian fungsi ruang publik ini tentu membutuhkan lebih dari sekadar kesadaran warga kota akan haknya untuk memperoleh ruang terbuka yang aman dan nyaman, melainkan pula kebijakan tata ruang yang lebih mengedepankan manusia ketimbang bangunan. Untuk itu tentu saja dibutuhkan sinergi dari pemerintah kota untuk memiliki kesadaran dan kemauan untuk memenuhi hak warganya akan ruang publik yang seharusnya milik mereka. (ISA), Foto: Dok. SIG Architect and Urbandesigner
Gerakan yang dimulai pada 2005 ini digagas oleh sebuah studio interdisipliner bernama Rebar yang berada di San Francisco, Amerika Serikat. Para penggagasnya ingin meningkatkan kembali kualitas ruang publik kota yang kondusif bagi warganya dan kesempatan untuk mengingatkan kembali pengelola kota bahwa ruang publik galibnya adalah fasilitas bersama yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Terlebih jika di kota tersebut ruang publik seperti taman atau trotoar yang semestinya digunakan oleh masyarakat untuk bermain dan berjalan dengan aman telah banyak beralih fungsi menjadi tempat berjualan atau lahan parkir seperti yang biasa kita lihat di Jakarta dan kota-kota lain baik di Indonesia mau pun di negara lainnya. Di Indonesia sendiri, PARK(ing) Day mulai diadaptasi menjadi ritual tahunan para aktivis lingkungan dan tata kota yang tersebar dalam berbagai kelompok dan komunitas sejak 2011.
Tahun 2013 ini, PARK(ing) Day secara serempak digelar di seluruh dunia pada Jumat, 20 September. Di Jakarta, perayaannya dilakukan antara lain oleh Komunitas Ruang Publik Jakarta bekerjasama dengan SIG Architect and Urbandesigner yang juga di dukung oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) di depan Kafe 2 Nyonya di Cikini. Ketersediaan ruang untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas publik secara setara tanpa batasan kelas sosial menurut Stevanus Ayal, salah satu inisiator Komunitas Ruang Publik Jakarta, merupakan salah satu indikator sehat tidaknya sebuah kota. “Kebanyakan masyarakat kota besar seperti Jakarta justru membangun batasan dan sekat itu. People make spaces,” katanya.
Batasan itu yang coba diurai lewat PARK(ing) Day yang setiap tahun menunjukkan peningkatan keterlibatan lebih banyak anggota masyarakat. “Kota yang layak huni itu sebenarnya adalah kota di mana setiap warganya dapat hidup secara sehat dan nyaman, mudah melakukan mobilitas dengan moda transportasi apapun, baik dengan kendaraan umum, bersepeda, bahkan berjalan kaki. Selain itu, kota layak huni juga seharusnya tak hanya atraktif dan aman bagi anak-anak serta manula, tapi juga menyediakan mereka akses yang mudah menuju ruang terbuka hijau di mana mereka bisa berkumpul dan beraktivitas,” ujar Sigit Kusumawijaya, principal architect dari SIG Architect and Urbandesiger mengatakan.
Pengembalian fungsi ruang publik ini tentu membutuhkan lebih dari sekadar kesadaran warga kota akan haknya untuk memperoleh ruang terbuka yang aman dan nyaman, melainkan pula kebijakan tata ruang yang lebih mengedepankan manusia ketimbang bangunan. Untuk itu tentu saja dibutuhkan sinergi dari pemerintah kota untuk memiliki kesadaran dan kemauan untuk memenuhi hak warganya akan ruang publik yang seharusnya milik mereka. (ISA), Foto: Dok. SIG Architect and Urbandesigner
Author
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia