Pada siang 13 September 2013 itu Julia Suryakusuma tampak segar dalam balutan gaun putih bermotif bunga biru dan cardigan biru. Kalung bergaya etnik dengan leontin batu yang juga berwarna biru melingkar di lehernya. Rambut hitamnya panjang tergerai. Agak sulit membuat kategori untuk dirinya. Penulis, terlalu umum. Feminis, terlalu sederhana. Rentang minatnya luas. Dari sastra sampai politik, dari lingkungan hidup sampai agama. “Saya juga suka masak,” katanya. Dalam hal ini pun ia andal. Ia senang memasak untuk mengundang makan teman-teman baiknya. Tapi kali ini ia yang diundang makan siang di kediaman temannya, duduk menghadap meja makan, dengan sepiring risotto yang masih hangat.
Karya akademisnya State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia dianggap sebagai karya pertama di Indonesia yang menganalisis tentang perempuan dan negara. Buku ini menjadi bacaan wajib di pusat studi gender di Indonesia dan berbagai negara. Selain itu, ia pula yang mempelopori studi gender dan seksualitas di Indonesia, melalui tulisan-tulisannya yang terbit di jurnal Prisma, antara 1981 hingga 1991. Buku-bukunya yang sudah terbit adalah kumpulan esainya, Sex, Power and Nation dan Julia’s Jihad. Ia kini rutin menulis kolom di suratkabar The Jakarta Post.
Apa hal yang paling menyenangkannya belum lama ini? “Sekitar dua bulan lalu. Buku saya Julia’s Jihad diluncurkan di Biasa Art Space Bali dan itu disertai pameran seni dari para pelukis dan seniman terkemuka. Tema pameran itu Outspoken. Rupanya Susan Perlini, pemilik Biasa, menggagas tema itu dari kesannya terhadap tulisan-tulisan saya yang dia baca dan dia mengundang seniman yang ingin berkarya dengan tema itu,” tuturnya.
Outspoken merupakan pameran karya kontemporer yang mengetengahkan isu sosial, politik, budaya dan agama dari 11 seniman, yaitu Arahmaiani, FX harsono, Heri Dono, Marco Cassani, Melati Suryodarmo, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, Sri Astari, Tisna Sanjaya, Titarubi dan Ugo Untoro. Julia merasa sangat dihargai dalam acara pada 11 Juli 2013 itu.
Dalam Julia’s Jihad, ia secara blak-blakan mengkritik praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama hingga pejabat yang korup dan mendiskriminasi perempuan, dengan ilustrasi yang bersifat personal dan keseharian. Namun, ia juga menulis tentang orang-orang yang melakukan pekerjaan seni dan sosial yang memberdayakan masyarakat dan menularkan sikap optimistis. Gaya bertuturnya lincah dan segar.
Sekarang ia tengah mencoba menulis hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, atas anjuran seorang teman. “Menulis tentang properti,” ujarnya, dengan bersemangat, seraya menyendok risotto. Julia memang selalu antusias mempelajari hal-hal baru. (LC) Foto: Transparency International
Karya akademisnya State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia dianggap sebagai karya pertama di Indonesia yang menganalisis tentang perempuan dan negara. Buku ini menjadi bacaan wajib di pusat studi gender di Indonesia dan berbagai negara. Selain itu, ia pula yang mempelopori studi gender dan seksualitas di Indonesia, melalui tulisan-tulisannya yang terbit di jurnal Prisma, antara 1981 hingga 1991. Buku-bukunya yang sudah terbit adalah kumpulan esainya, Sex, Power and Nation dan Julia’s Jihad. Ia kini rutin menulis kolom di suratkabar The Jakarta Post.
Apa hal yang paling menyenangkannya belum lama ini? “Sekitar dua bulan lalu. Buku saya Julia’s Jihad diluncurkan di Biasa Art Space Bali dan itu disertai pameran seni dari para pelukis dan seniman terkemuka. Tema pameran itu Outspoken. Rupanya Susan Perlini, pemilik Biasa, menggagas tema itu dari kesannya terhadap tulisan-tulisan saya yang dia baca dan dia mengundang seniman yang ingin berkarya dengan tema itu,” tuturnya.
Outspoken merupakan pameran karya kontemporer yang mengetengahkan isu sosial, politik, budaya dan agama dari 11 seniman, yaitu Arahmaiani, FX harsono, Heri Dono, Marco Cassani, Melati Suryodarmo, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, Sri Astari, Tisna Sanjaya, Titarubi dan Ugo Untoro. Julia merasa sangat dihargai dalam acara pada 11 Juli 2013 itu.
Dalam Julia’s Jihad, ia secara blak-blakan mengkritik praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama hingga pejabat yang korup dan mendiskriminasi perempuan, dengan ilustrasi yang bersifat personal dan keseharian. Namun, ia juga menulis tentang orang-orang yang melakukan pekerjaan seni dan sosial yang memberdayakan masyarakat dan menularkan sikap optimistis. Gaya bertuturnya lincah dan segar.
Sekarang ia tengah mencoba menulis hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, atas anjuran seorang teman. “Menulis tentang properti,” ujarnya, dengan bersemangat, seraya menyendok risotto. Julia memang selalu antusias mempelajari hal-hal baru. (LC) Foto: Transparency International